"MINGGIR KAU!"
"TIDAK AKAN!"
Terdengar suara Ninlil dan Emir yang saling membentak.
Seperti permintaanku, Emir mengalihkan perhatian Ninlil agar aku tidak diserang. Sementara itu, aku berlari ke semua tempat. Karena tubuhku sudah mengalami luka parah, aku tidak perlu repot-repot membuat sayatan. Aku hanya cukup menempelkan tangan ke luka dan mencipratkan darahku ke semua logam dan rumah yang terlihat. Di lain pihak, Inanna masih membombardir di sekitar, mempertahankan dinding api.
Aku terus berlari, mencipratkan darah ke sana-sini. Namun, sayangnya, lukaku sudah mulai kering. Aku pun terpaksa menggunakan tombak tiga mata untuk menyayat tanganku.
[Lugalgin! Om Barun bergerak ke arahmu! Apa aku harus menghentikannya?]
"Tidak, biarkan saja ayah datang. Kamu cukup fokus pada dinding apinya."
[Apa kamu yakin?]
"Ya, aku yakin."
Meski tahu ayah dalam perjalanan ke sini, aku tidak menambah kecepatan atau berhenti menantinya. Aku tetap berlari ke semua tempat dengan tempo yang sama, mencipratkan darah. Setelah beberapa saat, akhirnya ayah mencapaiku. Ayah datang tanpa menggunakan pengendalian. Dia berlari, tidak melayang.
"Hai, Gin."
"Hai, ayah. Apakah ayah sudah boleh membuang sandiwaranya?"
Ayah membuka mulut dan setengah membelalakkan mata. Tampaknya, dia tidak menyangka kalau aku tahu.
"Sejak kapan?"
"Baru saja. Tadi, saat Ninlil unggul, ayah memang tidak perlu turun tangan. Namun, setelah Inanna dan Emir datang, jelas-jelas Ninlil butuh bantuan. Namun, ayah sama sekali tidak ikut campur. Jadi, rasanya, sudah jelas sekali, kan?"
Ayah tertawa kecil mendengar ucapanku.
"Sebelum ayah tertawa puas, aku ingin memberi sebuah peringatan. Ayah tidak bilang mengenai infiltrasi ke keluarga Alhold pada ibu, ya?"
Setelah mendengar pertanyaanku, tepat saat itu juga, ayah menghentikan tawanya. Masih berlari, ayah menurunkan pandangannya. Namun, walaupun tidak melihat ke depan, ayah masih bisa berlari dengan cepat dan menghindari rintangan yang ada.
"Jadi, Gin, apa ibumu marah?"
"Marah? Kata marah terlalu menyepelekannya, sebuah understatement," Aku memberi jawaban. "Ibu tidak hanya marah. Ibu murka. Kalau aku tidak menyerang saat ini juga, sekarang, ibu yang akan melakukannya. Dan, ibu berencana membunuh semua orang kecuali Ninlil. Jadi, ayah juga termasuk. Menurut ayah, kenapa aku tidak menunggu lebih lama dan mengumpulkan informasi terlebih dahulu? Aku berusaha menyelamatkan ayah ini."
Yah, dan mendapatkan beberapa kelinci percobaan sih. Namun, aku tidak akan mengatakannya.
"Baiklah, itu mengkhawatirkan. Ngomong-ngomong, terima kasih ya, Gin. Ayah senang kamu masih peduli pada ayah."
"Sudah, itu tidak usah dibahas." Aku merespons ayah enteng. "Ngomong-ngomong, memangnya, apa tujuan–"
Belum sempat aku menanyakan tujuan ayah, kami berhenti. Tidak jauh di depan kami, seorang laki-laki tua berdiri. Di seluruh tubuhnya, sebuah zirah besi sudah terpasang. Aku berani bertaruh semua zirah itu terbuat dari aluminium. Hanya kepalanya saja yang tidak tertutup oleh logam.
Matanya membelalak begitu lebar. Bahkan aku bisa melihat urat nadi yang muncul ke kepalanya yang tanpa rambut itu. Tampaknya, dia marah. Yah, aku paham sih kalau dia marah. Aku juga akan menunjukkan ekspresi yang sama kalau ada orang menghancurkan kediamanku.
"Inanna, kamu tetap fokus dengan dinding api saja."
Aku memberi perintah pada Inanna sebelum dia datang ke sini. Inanna pasti berpikir dengan semua luka di tubuh ini, aku tidak akan bisa melawan Enlil. Dan, ya, dia benar. Namun, aku punya rencana lain.
[Tapi gin!]
"Jangan khawatir." Aku mencoba menenangkan Inanna. "Berbeda dari sebelumnya, kali ini, aku tidak ada niatan mati."
[Jadi kamu mengakui kalau tadi ada niatan untuk mati?]
Aw, telingaku!
Sontak, aku langsung melepas earphone. Bahkan, aku hampir melemparnya. Setelah suara teriakan itu tidak terdengar lagi, aku kembali mengenakannya.
Ayolah! Yang benar saja! Ini bukan waktu yang tepat, Inanna.
"Ah, Inanna, aku akan memberi penjelasan sebanyak apapun, tapi nanti ya, setelah operasi ini selesai."
Inanna tidak menjawab. Dia mendiamkanku.
"Gin, apa yang sudah kamu lakukan sehingga Inanna bisa semarah itu?"
Ayah tidak mendengar suara Inanna dari earphone yang kupasang. Dia bisa mendengarnya karena Inanna berteriak begitu kencang, hampir membuatku tuli.
"Jadi, Gin," ayah menambahkan. "Ayah rasa kamu tidak punya hak untuk menceramahi ayah karena tidak memberi tahu ibumu."