Zababa Alhold adalah anggota keluarga Alhold terakhir yang tidak memiliki pengendalian. Setidaknya, itulah yang diketahui oleh Fahren dan Arid. Kisah ini bercerita tentang Zababa Alhold dan kenapa dia membuat aku, Lugalgin begitu, dibenci oleh penerusnya.
Zababa Alhold adalah seorang Alhold sejati. Selain inkompeten, Zababa memiliki sifat yang bisa dibilang ciri khas seorang Alhold, malas dan suka menghindari masalah. Ketika kerajaan Kish runtuh, Zababa mengasingkan diri dan menjadi rakyat jelata. Dengan kata lain, dia kabur dari tanggung jawabnya sebagai keluarga kerajaan.
Setelah kerajaan Kish hancur sepenuhnya, terjadi perang saudara dimana-mana. Semua bangsawan dan pihak yang memiliki ideologi dan ambisi memimpin perang. Perang itu bertahan beberapa tahun.
Karena Zababa adalah seseorang yang malas, dia memilih untuk menjadi nomad, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menghindari konflik. Zababa mengajak serta istri, Urta, dan putra putrinya, Tian dan Teur. Namun, tanpa disadari, kehidupan nomad yang dijalani oleh Zababa akan menjadi awal mula kebencian keluarga Alhold terhadap inkompeten.
Kehidupan nomad yang dijalani oleh Zababa dan keluarga membuat kedua anak tidak mampu membuat teman. Dengan kata lain, mereka kesepian. Walaupun mendapat teman di suatu desa, beberapa minggu kemudian ketika desa itu akan diserang atau semua laki-laki dipaksa menjadi tentara untuk mengikuti peperangan, Zababa akan langsung kabur bersama keluarganya.
Tian dan Teur berkali-kali harus memutus pertemanan karena keegoisan Zababa. Urta tidak pernah mengatakan apapun soal keegoisan Zababa. Terkadang, Teur bertanya kepada sang kakak, Tian, kenapa mereka selalu berpindah-pindah. Namun, Tian juga tidak mampu memberi jawaban.
Suatu ketika, Urta mendapatkan luka parah karena diserang oleh hewan buas. Dan, sungguh suatu kesialan, kejadian itu ketika mereka sedang berada di tengah perjalanan menuju desa selanjutnya. Tanpa bisa melakukan apapun, Zababa dan kedua putranya terpaksa membiarkan Urta tewas.
Kematian Urta adalah pemicu pertama Tian dan Teur mulai meragukan ayahnya. Mereka tidak terlalu memedulikan soal tidak memiliki teman. Di pikiran mereka, Tian dan Teur mulai berandai. Seandainya mereka menetap di satu desa, ibu pasti tidak akan diserang hewan buas. Kalau tidak diserang hewan buas, ibunya tidak akan tewas. Sejak saat itu juga, Tian dan Teur mulai menjaga jarak dari ayahnya, Zababa.
Setelah beberapa tahun, akhirnya, perang berakhir. Setelah perang berakhir, Zababa dan keluarga kembali ke tempat tinggal pertama mereka, sebuah daerah di tengah antah berantah.
Tian dan Teur benar-benar bahagia ketika perang berakhir. Mereka berpikir tidak perlu lagi berpindah-pindah. Di hari pertama pulang, Tian dan Teur berkunjung ke desa terdekat, Desa Nagar. Desa Nagar adalah tempat bermain Tian dan Teur sebelum Zababa mengajak mereka hidup nomad. Mereka berdua berharap senyum dan sambutan teman-temannya.
Namun, sayangnya, tidak ada senyum atau kehangatan yang menyambut mereka. Yang menyambut Tian dan Teur hanyalah pandangan dan perlakuan dingin dari warga desa Nagar. Para orang tua hanya menghindari Tian dan Teur, mengabaikan mereka. Namun, hal itu tidak dilakukan oleh anak-anak yang seumuran dengan Tian dan Teur.
Anak-anak cenderung lebih ekspresif dan jujur. Anak-anak di desa itu menghina Tian dan Teur karena kabur dari desa begitu saja. Tidak berhenti sampai hinaan, bahkan mereka melempari Tian dan Teur dengan batu.
Salah satu warga laki-laki bernama Brak mencoba menghentikan anak-anak yang melempar Tian dan Teur dengan batu. Brak membawa Tian dan Teur ke rumahnya dan memberi penjelasan kenapa anak-anak itu membenci Tian dan Teur.
Karena perang, banyak laki-laki dewasa yang dipaksa menjadi tentara. Sebagian tewas, sebagian pulang cacat. Hanya minoritas yang dapat pulang dengan anggota tubuh lengkap. Di medan peperangan, sebuah kabar berembus bahwa sebenarnya ada keluarga kerajaan yang masih hidup. Entah bagaimana, nama Zababa muncul.
Orang-orang yang pulang dengan cacat permanen menyalahkan Zababa. Bukan hanya orang-orang dengan cacat permanen. Keluarga laki-laki yang terseret ke medan perang pun ikut menyalahkan Zababa. Mereka semua meyakini, Zababa sebagai anggota keluarga kerajaan memiliki kewajiban untuk meredam peperangan yang terjadi. Namun, yang dilakukan oleh Zababa justru sebaliknya. Dia justru kabur entah kemana.
Brak mengantarkan Tian dan Teur kembali ke rumah. Sebenarnya, Tian dan Teur tidak sepenuhnya percaya dengan cerita Brak. Mereka tidak percaya ayahnya yang pengecut dan pemalas itu adalah keluarga kerajaan. Namun, Tian dan Teur tidak bisa melupakan ekspresi yang ditunjukkan oleh anak-anak yang melempar batu.
Tian dan Teur menyadari ekspresi anak-anak yang melempari mereka dengan batu bukanlah kemarahan, tapi kesedihan. Mereka paham karena ekspresi itu adalah yang mereka miliki ketika kehilangan Urta. Anak-anak itu sedih karena Zababa, ayah Tian dan Teur, yang seharusnya bisa meredam konflik justru kabur, menyelamatkan diri, dan berujung pada musibah yang menimpa mereka.
Ketika Tian dan Teur sudah sampai dan orang itu akan kembali ke desa. Sesuatu yang tidak diduga terjadi.
"Kalian? Raja Unug? Raja Kulaba?"
Setelah berpisah, tiba-tiba terdengar suara bentakan. Mendengar teriakan Brak yang telah berbaik hati pada mereka, Tian dan Teur pun berlari, mengikuti asal suara. Ketika sampai, mereka berdua bersembunyi. Mereka takut karena melihat ada orang bersenjata. Di ujung suara, Tian dan Teur mendapati Brak berhadapan dengan beberapa orang.
Tian dan Teur tidak mengenal orang yang berhadapan dengan Brak. Namun, dari teriakan Brak, mereka menyimpulkan kedua orang itu adalah Unug dan Kulaba, Raja Bana'an dan Mariander.
Meski bukan musuh utama, pasukan Unug dan Kulaba beberapa kali berseteru. Dengan kata lain, bagi rakyat jelata tanpa ilmu pengetahuan, yang mereka ketahui hanyalah Kulaba adalah musuh. Melihat orang yang mereka layani, Unug, bercakap-cakap santai dengan pemimpin musuh, Kulaba, menghancurkan perasaan orang itu.
"Raja brengsek! Kami melayanimu sepenuh hati dan ini balasanmu?"
Termakan emosi, Brak maju menyerang sang raja. Dia menggunakan pisau kecil untuk berburu. Namun, yang diserang bukanlah Kulaba, melainkan Unug. Di matanya, pengkhianat lebih patut dibunuh.
Brak tidak mampu mencapai Unug. Dia dibunuh oleh pengawal Unug dan Kulaba.