"Kakak...."
Aku melihat sosok kakak yang tergeletak lemas di balik kaca.
Saat ini, kakak tertidur di ruang perawatan intensif. Normalnya, orang yang dirawat di tempat ini akan mengenakan banyak pipa, kabel, dan alat monitor kehidupan lainnya. Namun, kakak hanya diperban di beberapa tempat. Bahkan, tidak ada infus yang menancap di tangan kakak. Meski demikian, ini tidak mengubah fakta tubuh kakak yang penuh perban.
Maafkan aku, kakak. Padahal, aku sudah bersumpah untuk melindungi kakak. Namun, yang terjadi, justru aku lah yang melukai kakak. Kalau saja aku tidak ceroboh dan menyerang keluarga Alhold, pasti hal ini tidak akan terjadi. Aku adalah adik yang bodoh. Aku adalah adik terbodoh di dunia.
Maafkan aku, kak. Maafkan aku.
"Ninlil?"
Sebuah suara familier terdengar. Aku menoleh, melihat ke ujung lorong. Di pertigaan lorong, tampak dua perempuan mengenakan pakaian pasien. Satu perempuan berambut merah membara dan satu lagi berambut hitam berkilau.
"Kak Emir... Kak Inanna..."
Tanpa bisa kutahan lagi, air mata mengalir. Gravitasi terasa begitu berat. Aku pun membiarkan tubuhku ditarik oleh gravitasi, terduduk di lantai.
"Maafkan aku.... maafkan Ninlil.... Maaf...."
Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kukatakan. Air mataku tidak kunjung berhenti. Bukan hanya air mata, aku bisa merasakan ingus pun keluar dari kedua lubang hidungku.
Keadaan Kak Emir dan Kak Inanna tidak lebih baik. Saat ini, tidak tampak adanya luka luar pada tubuh mereka berdua. Namun, mata mereka tampak begitu sayu. Kantung mata mereka pun tampak begitu tebal. Selain itu, mereka berdua pun terus menempel di dinding, bersandar, tidak mampu membawa tubuh mereka sendiri.
Dulu, ayah pernah memperingatkanku untuk tidak menggunakan terlalu intensif dalam waktu lama. Menggunakan pengendalian intensif memerlukan konsentrasi dan tenaga yang sangat besar. Jika digunakan terlalu lama, maka penggunanya bisa tewas karena kehabisan tenaga.
Kak Emir dan Kak Inanna menggunakan pengendalian selama beberapa jam untuk membantu kakak menangkapku hidup-hidup dan tanpa luka. Kalau lebih lama lagi, mereka bisa tewas. Ayah bilang, tadi mereka tampak baik-baik saja karena adrenalin sedang tinggi. Namun, ketika adrenalinnya sudah rendah, saat itu juga efek kehabisan tenaga muncul.
Bahkan, kata ayah, ada kasus dimana seseorang baru tewas setelah keadaan tenang. Dengan kata Nyawa Kak Emir dan Kak Inanna terancam hanya karena aku.
Bukan hanya Kak Emir dan Kak Inanna, Kak Lugalgin pun juga mengalami nasib yang sama. Dia bisa bertarung hingga akhir karena adrenalin tinggi.
"Maafkan aku kak.... maaf....."
"Tidak apa-apa Ninlil. Tidak apa-apa."
"Kami memaafkanmu kok. Kamu tidak perlu merasa bersalah."
Tanpa aku sadari, Kak Emir dan Kak Inanna sudah mendatangiku. Mereka memelukku erat, memberi sebuah kehangatan.
Dalam pelukan mereka, aku terus dan terus menangis, tidak mampu menghentikan air mata.
Maafkan aku, ma–
"Kamu tidak salah. Di lain pihak, bisa tolong diam? Aku tidak bisa tidur."
"Eh?"
Bukan hanya aku. Kak Emir dan kak Inanna juga memberi respons yang sama.
Kami bertiga menoleh ke pintu ruangan. Di pintu itu, terlihat Kak Lugalgin yang berdiri.
"Ka, kakak?"
"Uhuk, uhuk, uhuk."
Tiba-tiba saja Kak Lugalgin terbatuk. Bukan hanya batuk, dia juga mengeluarkan darah dari mulutnya.
"Gin!"
Kak Inanna bangkit dan meraih Kak Lugalgin yang hampir terjatuh. Sementara itu, Kak Emir masih merengkuhku.
"Kamu terluka parah. Kamu harus istirahat."
"Bagaimana aku bisa istirahat kalau Ninlil terus menangis?"
Kak Lugalgin menjawab Kak Inanna dengan enteng.
"Gin, kamu itu belum pulih."
Tiba-tiba saja, dari ujung lorong, ayah datang setengah berlari. Dengan cepat, ayah menarik sebuah syringe gun dan menyuntikkannya ke leher kakak.
"Terima kasih, ayah."
"Kalau tidak melakukan ini, ayah tidak yakin ibumu akan semarah apa nanti."
Dalam waktu singkat, Kak Lugalgin kembali memejamkan matanya.
Kak Inanna tampak tidak mampu menahan tubuh Kak Lugalgin. Tampaknya dia masih kelelahan.
Ayah langsung mengambil Kak Lugalgin dan mengembalikannya ke dalam, ke kasur. Setelah mengembalikan Kak Lugalgin, ayah keluar, berdiri di depan kami.
"Emir, Inanna, kalian masih membutuhkan istirahat. Aku akan sangat berterima kasih kalau kalian tidak keluar dari ruangan."
"Tapi, Om Barun-"