I am No King

Ren Igad
Chapter #106

Arc 3-3 Ch 33 - Pembalasan Dendam

Tubuh Shu En tampak gemetaran ketika melihat Nanna dan Suen yang berdiri diam. Dia melihat dua anak SMP ini baik-baik dengan mulut terbuka dan tertutup seperti ikan.

Di lain pihak, Fahren tampak tidak terpengaruh. Dia diam saja, tidak gentar.

Wow! Menurutku, Fahren benar-benar tidak berperasaan. Meskipun secara langsung dia adalah alasan keluarga Suen dan Nanna tewas, Fahren tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.

Aku berdiri dan meletakkan kedua tangan di bahu Nanna dan Suen.

"Nanna, Suen, dengan dua tangan ini, aku sudah menghabisi dan membunuh pelaku langsung yang membunuh keluarga kalian, Keluarga Alhold. Namun, untuk pihak yang menjadi dalang, pihak yang mengadu domba kami dan menyeret keluarga kalian, belum aku bunuh atau hukum. Jadi, aku memberi hak ini pada kalian. Hukuman apa yang ingin kalian jatuhkan?"

Tubuh Nanna bergetar semakin kuat. Pada akhirnya, dia berbalik dan memelukku, membenamkan wajahnya di badanku. Tidak ada jawaban muncul darinya.

Di lain pihak, Suen melihat Fahren dan Shu En dengan tajam, sengit. Kalau pandangannya adalah pedang, dia sudah membunuh mereka berkali-kali. Akhirnya, mulutnya terbuka.

"Kak Lugalgin, apa aku boleh memberi saran?"

"Saran apa itu?"

"Kalau boleh jujur, menurutku, membunuh mereka adalah hukuman yang terlalu ringan."

Kalau ada orang dengan pemikiran optimistis, mereka pasti berpikir Suen akan membiarkan Fahren dan Shu En hidup, melanjutkan hidup dengan menanggung dosa dan rasa bersalah karena telah membunuh warga yang seharusnya mereka lindungi. Namun, aku sama sekali tidak yakin. Dia terlalu sering berdiskusi denganku. Aku bisa bilang, cara berpikirnya sudah ketularan olehku.

"Aku lebih memilih membiarkan mereka hidup, tapi menyaksikan keluarga mereka terbunuh. Dengan demikian, mereka tahu apa yang kami rasakan."

Yup. Dia benar-benar sudah ketularan cara pikirku. Cara berpikir kami sama. Jadi....

"Aku sudah memperkirakan kamu akan mengatakannya." Aku berteriak, "kalian mendengarnya, kan?"

Bersamaan dengan teriakanku, kegelapan di tempat ini menghilang, digantikan oleh cahaya putih. Tidak ada seorang pun yang tidak mengenal tempat ini. Walaupun belum pernah melihat secara langsung, pasti, mereka pernah melihat gambar tempat ini di internet.

Aku, Nanna, Suen, Fahren, dan Shu En berada di tengah arena pertarungan, tempat battle royale berlangsung. Di sekeliling, terlihat tribune penuh dengan orang. Ya, hampir semua tribune terisi. Namun, mereka berada di sini bukan untuk melihat battle royale. Mereka semua diikat dan mulutnya disumpal.

"Di tribune, kalian bisa melihat keluarga Raja Fahren dan keluarga kerajaan. Selain itu, aku juga menghadirkan agen schneider beserta keluarga yang seharusnya taat padaku tapi malah berkhianat. Secara tidak langsung, mereka adalah alasan Fahren berani mengkhianatiku. Tentu saja tidak hanya mereka."

Nanna memejamkan mata. Pelukannya semakin erat. Dia membenamkan wajah semakin dalam ke badanku. Aku pun memeluknya dengan erat, merasakan tubuhnya yang bergetar, tampak ketakutan. Saat ini, dia pasti bingung, tidak tahu harus melakukan apa.

"Aku tidak peduli dengan orang agen lain. Aku ingin keluarga dua orang ini!"

Suen meninggikan nada, setengah membentak.

"Baik,"

Aku melihat ke satu arah secara acak. Di saat itu, beberapa orang muncul dari kerumunan, mengangkat puluhan orang. Orang-orang itu masuk ke arena, dan melemparkan sandera ke sebelah kiriku. Total, ada 29 orang yang tergeletak di tanah.

Semua orang memiliki rambut hitam, pirang, merah, putih, dan sebagainya. Di ujung, terlihat satu laki-laki dengan rambut panjang coklat dan mata coklat. Laki-laki itu adalah Liu, putra dari Shu En. Dia seumuran dengan Suen.

Sementara itu, aku melihat ke arah satu orang, Jeanne. Dia juga diikat dan disumpal. Jeanne melihatku dengan mata berair dan tubuh bergetar. Tampaknya, dia tidak mampu mempercayai apa yang dilihatnya, yaitu kejadian aku menyandera seluruh keluarga kerajaan. Namun, seharusnya, dia sadar hal ini akan terjadi karena dia juga menandatangani dokumen itu.

Bukan hanya Jeanne. Beberapa keluarga kerajaan yang mengenalku, seperti Tuan Putri Yurika, memelototiku.

Satu-satunya keluarga kerajaan Bana'an yang tidak menjadi sandera adalah Emir. Dan, dia tidak menunjukkan wajahnya untuk saat ini.

Sementara Suen melihat ke arah sandera, aku melihat ke arah Fahren. Pandangannya masih tidak bergetar, tidak ada perbuahan sedikit pun.

Aku mengabaikan Suen dan para sandera untuk sejenak.

"Nanna, apa kamu mau pu–apa kamu mau pindah tempat?"

Nanna mengangguk.

Hampir saja aku mengatakan pulang. Nanna sudah tidak memiliki tempat berpulang. Kesedihannya akan semakin parah kalau mendengarku mengatakannya.

"Emir!" aku berteriak.

Dari kerumunan, sebuah sosok melompat dan mendarat tidak jauh dariku. Emir mengenakan pakaian bertarung seperti biasa, celana kargo, rompi anti peluru, pakaian igni, dan jubah. Namun, dia tidak mengenakan topeng. Dia membiarkan wajahnya terlihat. Membiarkan rambut merahnya terburai.

Ketika Emir datang, semua keluarga kerajaan...tidak! Semua sandera di tempat ini membelalakkan mata. Pandangan mereka fokus pada satu orang, Emir.

"Jadi, kamu mendukung Lugalgin?"

"Ayah," Emir menjawab. "Aku sudah mengatakan kalau aku akan mendukung Lugalgin walau harus menentangmu. Sebelumnya, aku kira ayah sudah bertobat, benar-benar menginginkan Bana'an yang lebih baik. Aku pun bahagia karena Lugalgin juga mencurahkan hati dan pikirannya untuk memperbaiki sistem intelijen Kerajaan ini, tapi,"

Emir melanjutkan, "ayah justru membalas niat baik dan usaha Lugalgin dengan pengkhianatan. Ketika mendengar keluarga Alhold melakukan praktik cuci otak, aku berharap ayah juga berada di bawah efek cuci otak. Namun, sayangnya, aku tidak mendapatkan bukti kalau ayah di bawah efek cuci otak. Aku harus menerima kenyataan kalau ayahku rela mengorbankan warganya begitu saja."

"Aku perlu melakukannya," Fahren merespon dengan datar. "Aku harus membuat pengorbanan kecil demi seluruh kerajaan."

"Kecil? Pengorbanan kecil? Apa bagi ayah nyawa penduduk kerajaan ini hanya angka? Hanya angka?"

"Tidak, aku tidak melihat nyawa mereka hanya sebatas angka. Namun, pengorbanan terkadang dibutuhkan demi kemakmuran orang banyak. Mereka berjasa. Mereka pahlawan."

"Pengorbanan? Pengorbanan adalah pilihan. Kalau keluarga Suen dan Nanna memilih untuk mengorbankan diri, mereka adalah pahlawan, berjasa. Namun, mereka dikorbankan. Mereka bukanlah pahlawan, hanya tumbal."

"Emir,"

"Diam!" Emir membentak. "Aku tidak sudi memiliki ayah sepertimu."

Emir berjalan ke arahku.

"Emir, dengarkan aku! Emir!"

Emir mengabaikan Fahren. Dia merendahkan tubuh dan meletakkan tangan di bahu Nanna.

Lihat selengkapnya