"Tidak, ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin."
"Yurika, bisakah kamu diam? Ini kenyataan."
"Kamu sudah bisa menerimanya karena kamu lah pengkhianatnya! Kamu yang membuat ibu seperti ini."
"Apa kamu bilang?"
Kami berdebat karena siaran televisi. Namun, karena Yurika tidak mampu menonton lebih lama, dia mematikan televisi.
"Dasar pengkhianat!"
"Mati kau!"
"Pengkhianat!"
Teriakan demi teriakan menggema di lorong. Mencegahku yang ingin melampiaskan kekesalan ke Yurika. Akhirnya, di depan kaca anti peluru, muncul sebuah sosok perempuan berambut panjang merah membara. Dia lah yang menyebabkan semua orang di tempat ini berisik, Emir. Dia mengenakan pakaian kasual sambil menggeser nampan kecil lewat lubang di bagian bawah.
"Emir, dimana ini? Apa maksud semua ini? Dan kenapa ibu terluka parah seperti itu. Bahkan, aku bisa melihat ibu tegang ketika Lugalgin memegangnya."
"Itu..."
"Emir, aku rasa dia tidak perlu mengetahuinya." Aku merespons dengan ketus.
"Tidak. Menurutku. Kakak perlu mengetahuinya. Kak, tempat ini adalah lantai basemen di Mal Haria, kantor intelijen Kerajaan. Ruangan ini adalah satu dari sekian banyak ruang tahanan untuk orang-orang yang telah melakukan pengkhianatan dan menunggu giliran interogasi, atau hukuman mati."
"Interogasi? Apa berarti Lugalgin sudah menginterogasi dan menyiksa ibu?"
Sementara Emir meladeni Yurika, aku mengambil satu nampan yang baru diantar Emir dan mulai makan. Meskipun Emir bilang ini adalah ruang tahanan, tempat ini sama sekali tidak kotor. Tempat ini sangat bersih. Bahkan, aku bisa bilang ruang tahanan ini lebih mewah dari sebagian penduduk kerajaan.
Di dalam ruangan ini ada dua kasur, kamar mandi di belakang, rak buku di samping, televisi, dan jam dinding. Yang membedakan adalah tempat ini tidak memiliki dinding. Dinding di bagian depan adalah kaca anti peluru. Tentu saja, tidak ada logam di tempat ini. Semuanya adalah barang organik seperti kayu dan benang. Kaca pun dibuat dari fiber khusus, mencegah pengendalian digunakan. Bukan hanya itu, pakaian ganti kami disediakan setiap pagi oleh pegawai.
Tentu saja tidak semua ruang tahanan seperti ini. Ruang tahanan ini dikhususkan untuk orang-orang seperti kami. Yang aku maksud bukan keluarga kerajaan, tapi tawanan. Sederhananya, aku dan Yurika adalah tawanan, memastikan orang tua kami bekerja sama hingga akhir.
"Emir," aku menyela sambil makan. "Kalau aku dan Yurika berada di tempat ini, berarti, ini tidak berhenti pada pengkhianatan agen schneider, kan? Apa permaisuri dan ibu merencanakan kudeta?"
"Eh? Kudeta? Ibu?"
Yurika, kalau berurusan dengan hal umum, lidahnya memang tajam. Namun, untuk urusan intelijen dan pasar gelap, dia tidak tahu apa-apa. Kalau di depan orang lain, dia pasti akan pura-pura tenang, seolah mengetahui segalanya. Namun, karena dia di depanku dan Emir, tampaknya dia bisa lebih jujur.
"Apa Lugalgin yang menyarankan Kudeta ini?"
"Tidak. Rencana awal Lugalgin adalah membunuh kalian semua beserta bangsawan, lalu menjadikan kerajaan ini menjadi Republik, seperti yang sekarang sedang terjadi di Mariander."
"Lalu–"
"Kudeta ini adalah saranku." Emir menyela. "Kalau aku tidak mengajukan ide ini, ibu, tante Isabel, kalian, dan kakak adik kandung kita sudah akan tewas, dibunuh oleh Lugalgin. Berkat ide ini, setidaknya, keluarga kita masih hidup."
Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih. Di satu pihak, berkat ibu berpihak pada Lugalgin, aku masih bisa bertahan hidup. Di lain pihak, aku juga agak sedih karena ibu menerima saran Emir untuk mengkudeta Raja. Namun, aku juga tidak terkejut.
"Jadi, yang menyarankan untuk menyiksa dan menginterogasi ibu juga kamu?"
"Itu..."
"Kenapa kamu tega? Dia ibumu sendiri. Cepat keluarkan kami dari sini! Aku tidak akan membiarkan kalian melakukan hal buruk pada ibu lebih lanjut!"
"Itu..."
Yurika membombardir Emir dengan pertanyaan. Di lain pihak, Emir tidak kunjung memberi jawaban. Baiklah, biar aku bantu Emir.
"Emir," aku masuk. "Tugasmu hanya mengantarkan makan, kan? Lebih baik kamu kembali ke sisi Lugalgin. Urusan kalian masih banyak, kan? Biar aku yang memberi sedikit penjelasan pada kakakmu dan orang-orang di tempat ini."
"Tapi–"
"Emir!" Aku menyela lagi. "Aku tidak mengkhianati Lugalgin, dan aku juga tidak akan mengkhianatimu. Percayalah padaku.
Emir terdiam sejenak, mundur.
"Terima kasih, Jeanne."
Emir tersenyum. Namun, aku tidak melihat sebuah kelegaan di balik senyumnya. Senyum Emir seolah dipaksa, sebuah senyum masam. Hanya kesengsaraan dan kesedihan yang kurasakan dari senyumnya. Aku juga ikut merasa sedih melihatnya.
Lugalgin, Inanna, tolong bantu perempuan itu, Emir. Dia sangat membutuhkan kalian.
Emir pun berjalan, meninggalkan kami.
"Hei! Pengkhianat! Lepaskan aku!"
"Hei! Lepaskan aku!"
Aku berdiri dan mendekatkan mulut ke beberapa lupa kecil di kaca.
"BERISIK! DIAM KALIAN SEMUA! KALIAN TIDAK TAHU BERKAT EMIR LAH KITA MASIH HIDUP! JADI, DIAM!"
Akhirnya, dengan teriakanku, suasana menjadi tenang.
"Emir, pergi! Tidak usah hiraukan mereka!"
Tidak terdengar balasan, hanya suara langkah kaki. Setelah suara langkah kaki Emir menghilang, aku pun kembali duduk, melanjutkan makan siang.
"Jeanne, kamu...."
"Kamu kakaknya, kan? Apa kamu tidak melihat wajah Emir? Dia jauh lebih tersiksa daripada kita."
Aku mulai memberi penjelasan pada Yurika, mencoba menenangkannya.