BRAKKK
Bunyi bantingan buku rapor yang dibanting mengenai meja kaca menggema diruangan tamu keluarga pratama. Untuk kesekian kalinya seorang Rudi Pratama merasa kecewa dengan anak semata wayangnya tersebut.
"Udah berapa kali Dava, udah berapa kali pap ngomong sama kamu kalau kamu itu harus bisa jadi juara satu. Tapi kenapa kamu nggak pernah mendengarkan papa hah?" Bentakan keras dari sang papa membuat emosi Dava perlahan naik.
"Jawab papa Dava! Apa kamu sengaja mau buat malu keluarga ini, iya? Hah? Jawab jangan cuma diam aja.
"Udahlah pa, mungkin kemampuan Dava cuma segitu. Kita nggak bisa memaksakan kemampuan seseorang karena itu semua sudah diatur pah" Rani mencoba menenangkan dan memberi pengertian kepada suaminya tersebut. Dia sebenarnya kasihan sama Dava. Anak semata wayangnya itu harus dipaksa sedemikian rupa oleh papanya sendiri. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak mungkin untuk membantah omongan orang yang berstatus suaminya itu.
"Nggak bisa seperti itu mah, dia itu sudah membuat papa malu. Gimana media denger kalau seorang pewaris tunggal keluarga pratama menjadi juara terakhir disekolahnya. Bisa-bisa itu akan menjadi berita yang memalukan keluarga"
"CUKUP! udah cukup Dava mau nurutin semua keinginan papa selama ini. Mulai sekarang jangan atur-atur hidup Dava lagi. Dava capek pah, capek papa pikir Dava seneng diperlakukan kayak gitu sama papa. Nggak pa, nggak sama sekali justru Dava sangat tersiksa dengan semua aturan papa buat"
Rani dan Rudi terkejut, baru kali ini Dava benar-benar mengungkapkan perasaannya selama ini. Dan untuk pertama kalinya Dava benar-benar emosi kepada papanya, terlihat dari dadanya yang naik turun dan nafas yang tidak teratur.
Melihat Dava seperti ini membuat Rani jadi semakin merasa bersalah. Sangat jelas terlihat Dimata Dava menyorotkan kesedihan dan luka yang mendalam.
"Kamu, udah berani kurang ajar ya sama papa, diajarin siapa kamu? Ha?"
"Bukannya secara nggak langsung papa yang ngajari aku jadi kayak gini, kenapa papa ngelak? Harusnya papa ngaca sepintar apa papa dulu sampai-sampai harus maksa aku jadi orang yang sangat pintar" setelah mengucapkan itu Dava langsung saja meninggalkan kedua orangtuanya menuju kamar. Tak peduli dengan teriakan sang papa yang terus saja memanggil namanya.
"Dava papa belum selesai ngomong, anak itu kenapa jadi kurang ajar begini?" Rudi menghela nafas tak habis pikir dengan anaknya itu. Tak menyangka kalau Dava akan memberontak seperti ini.
"Sudahlah pa, mungkin Dava terlalu kebawa emosi. Maklum dia masih remaja emosinya masih labil" Rani mencoba menenangkan suaminya itu sambil mengusap pundaknya berharap sang suami jadi lebih tenang.
Semetara itu didalam kamar Dava terlihat tak bisa lagi mengendalikan emosinya. Perasaannya campur aduk sekarang. Antara marah, kecewa, gelisah semua jadi satu.
Tak sengaja Dava melihat cutter diatas nakasnya. Langsung saja ia mengambil dan menggenggamnya erat.
Suara-suara itu terus saja menyuruhnya menggoreskan cutter itu ketangannya. Dan tanpa ragu dava langsung saja membuat goresan-goresan kecil disekitar lengannya.
Cairan merah itu mulai terlihat disepanjang goresan yang ia buat. Terakhir ia bukan hanya goresan saja, ia mulai menyayat lengannya dengan sayatan yang cukup panjang, sekitar sepuluh centimeter. Dan langsung saja membuat cairan merah kental itu mengalir dengan mulusnya. Dava merasakan kepuasan tersendiri. Ia merasa bebannya mengalir bersamaan dengan mengalirnya darah dilengannya.
***
Langit sudah bertabur bintang. Setelah tadi Dava melakukan aksi self injury-nya dia tertidur sampai sekarang. Dia meraba mencari benda pipih persegi miliknya. Setelah menemukannya ia langsung saja menyalakannya. Ia membelakan matanya ternyata udah jam sepuluh. Ternyata lama juga ia tertidur.
Karena merasa haus akhirnya ia memutuska untuk keluar kamar karena air didalam gelas yang biasanya ada diatas nakasnya kosong.