Sudah satu Minggu ini Dava terus-terusan mengurung dirinya dikamar. Keluarpun hanya kalau ia memang benar-benar lapar atau haus saja. Itupun sangat jarang mengingat dia beberapa hari belakangan nafsu makannya menurun. Mamanya sampai khawatir sama dia. Papanya? Jangan ditanya setelah pertengkaran itu hubungan keduanya sama sekali belum membaik bahkan cenderung buruk. Dava yang sudah mulai tidak bisa mengontrol emosinya dan bersikap tidak sopan kepadanya membuat Rudi sangat marah kepada putranya itu, sehingga dia tidak lagi peduli dengan apa yang dilakukan oleh putranya tersebut.
Sekolahpun ia abaikan dia sudah tidak punya minat lagi untuk sekolah, rasanya sangat malas bertemu guru, temen bahkan Laura sekalipun. Dava sudah mendapatkan Surat panggilan orangtua dari kepala sekolah dan berakhir pertengkaran lagi dengan sang ayah. Tapi sekali dia tidak peduli.
Dava berjalan menyusuri lorong bangunan bercat serba putih tersebut. Kakinya terus melangkah sambil sesekali ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut koridor. Hingga langkahnya terhenti pada sebuah ruangan dengan tulisan yang menggantung disisi kiri sebuah pintu. Dr. Erika Dwi santoso, Sp.KJ. yah, hari ini dia datang ke psikiater setelah kemarin ia kedokter karena gangguan tidurnya dan berakhir Dava dirujuk untuk datang kesini memastikan apa yang salah dalam dirinya.
"Dava Langit Pratama, jadi apa keluhan kamu sehingga kamu memutuskan kesini?" Dokter itu bertanya sambil menyunggingkan senyum manisnya.
Dava hanya diam, sambil memainkan jemarinya. Jujur ia sangat gugup.
"Jangan takut, bicara saja anggap saja saya ini teman kamu" dokter Erika berusaha untuk tetap membuat pasiennya nyaman agar bisa leluasa untuk berbicara.
"Eum, itu dokter akhir-akhir ini saya terkena gangguan tidur. kadang saya susah tidur tapi dilain waktu saya juga over tidurnya. Saya ingin tahu apa yang terjadi sama saya dokter"
"Oh, apa hanya itu saja?" Tanya dokter meyakinkan.
Dava diam sebentar "Sebenarnya saya juga merasa ada yang aneh dalam diri saya. Saya sulit berkosentrasi, tidak bisa mengendalikan emosi bahkan kadang saya mendengar sesuatu yang tidak bisa didengar oleh orang lain, apa saya baik-baik aja dokter?"
Dokter itu mengangguk paham apa yang terjadi pada pasiennya kali ini.
"Apa kamu juga sering berhalusinasi, cemas, gelisah atau panik tanpa alasan?"
"I--ya dok" Dava menjawab dengan ragu.
"Begini Dava saya sudah mempunyai hipotesis terhadap apa yang kamu alami saat ini, tapi untuk lebih jelasnya kita harus melakukan berbagai tes terlebih dahulu, bagaimana?" Dokter Erika memberi saran.
"Kalau itu yang terbaik lakukan saja dok"
"Baiklah, mari ikut saya"
***
Dava menatap nanar obat-obatan dan beberapa lembar kertas yang terdapat logo sebuah rumah sakit tersebut. Pikirannya menerawang pada dua hari yang lalu. Hasil tesnya dan ucapan dokter yang membuatnya kaget bukan main.