3
“Bagaimana minggu kalian?” tanyaku kepada Lucy dan Ryan saat kami makan.
Restoran cukup ramai, mengingat hari ini hari Sabtu. Interior restoran menggunakan tema taman sehingga banyak tanaman, baik asli maupun palsu, menyesuaikan dengan konsep restoran yang menjual makanan plant-based. Suara mengobrol para tamu mengisi restoran. Staf restoran berlalu-lalang membawakan pesanan para pelanggan dengan gesit. Konsep dapur semi terbuka memberi kesempatan bagi pengunjung untuk melihat proses memasak yang turut menjadi nilai tambah dari restoran ini.
“Aku sedang berusaha mendapatkan markas teroris sebelum mereka menjalani misinya yang akan membahayakan puluhan nyawa, same old same old,” jawab Ryan.
“Mingguku berjalan seperti biasanya saja, tidak ada yang berarti,” jawab Lucy tanpa memberikan banyak perhatian terhadap percakapan kami. Perhatiannya terpusat pada makanannya. Dasar, pikirku. Padahal dia yang tadi menolak untuk kesini, sekarang dia yang terhipnotis dengan burger tahunya. Kami melanjutkan makan sambil mengobrol basa-basi dengan suara pelan.
Kami duduk untuk beberapa lama di kursi masing-masing setelah kami selesai makan, membahas makanan masing-masing. Lucy segera mengklaim restoran ini sebagai salah satu restoran yang akan sering dia datangi kembali. Ponselku bergetar dari dalam saku celanaku. Sebuah pesan dari Gary.
‘Aku sudah selesai dan akan segera tiba di sana.’
“Kamu sendiri bagaimana? Bagaimana kabarmu?” tanya Ryan tiba-tiba, membuat aku mengangkat kepala dari ponselku.
“Minggu ini aku tidak sedang terlalu sibuk, hanya ada pekerjaan-pekerjaan administrasi saja,” jawabku. Beberapa orang di kantor percaya dengan ‘jinx’. Jika kita berkata bahwa kita sedang tidak sibuk, tidak lama kemudian kita pasti akan dibanjiri pekerjaan. Aku tidak percaya dengan hal itu tentunya karena aku belum pernah mengalaminya sendiri.
“Apakah besok kamu akan datang latihan?” tanya Lucy kemudian.
“Tentu, seperti hari Minggu biasanya,” jawabku.
Aku menghabiskan setiap hari Mingguku – saat sedang tidak ada keperluan penting di kantor – dengan datang ke Markas Oneiropólos untuk latihan dengan Lucy. Latihan darinya meningkatkan kemampuan bela diri jarak dekatku, walaupun tentunya belum sehebat Lucy. Bahkan masih jauh dari setara dengan Lucy.
“Besok aku ikut, ya. Pegal sekali tubuhku setiap hari duduk di depan komputer. Tubuhku butuh bergerak lebih banyak,” jawab Ryan.
Saat itu staf restoran membawakan bill. Aku melihat ke sekeliling restoran, ternyata restoran telah kosong. Kami adalah pelanggan terakhir mereka. Para staf terlihat mulai membersihkan dan membereskan restoran. Tanganku meraih bill tersebut untuk membayar. Di saat yang hampir bersamaan, Ryan juga ikut meraih bill tersebut dan tangannya memegang tanganku yang memegang bill di atas meja. Aku langsung menarik tanganku. Aku dapat melihat dari sudut mataku bahwa Lucy memerhatikan kami.
“Biar aku saja yang bayar kali ini,” ucapku. Ryan tidak metanggapan tetapi langsung mengangkat bill dan membayar di kasir.
Lucy mulai berdiri dan menggunakan jaketnya. Aku ikut berdiri dan mengambil jaketku dari punggung kursi. Tidak lama kemudian Ryan sudah selesai membayar dan telah kembali berdiri di dekat kami berdua. Kami mulai berjalan keluar restoran setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Aku, Ryan, dan Lucy berdiri di depan pintu restoran dan sesaat kemudian mobil Gary bergerak memasuki area parkir restoran.
“Terima kasih Ryan untuk traktirannya. Selanjutnya giliran aku, oke?” ucapku sambil mengenakan jaketku.
“Terima kasih, Ryan. Besok-besok lagi ya,” tambah Lucy sambil tertawa. Aku ikut tertawa. Lucy memiliki suara tertawa yang sangat menular.
Lucy dan Ryan masih asik mengobrol, sedangkan aku masih berusaha memasukan lengan jaket ke tangan kiriku. Lengan jaketku terbalik sehingga aku agak kesulitan. Suhu udara malam mulai menggigit lengan kiriku yang tidak tertutup jaket.
“Sini, pakai jaket saja tidak bisa,” ledek Ryan sambil membantu aku menggunakan jaketku.
“Eh, terima kasih,” ucapku dengan sedikit salah tingkah.
Saat itu Gary telah tiba di dekat kami dan tersenyum melihatku. Walaupun tersenyum, aku menyadari matanya menatap ke arah Ryan. Aku melangkah mendekati Gary.
“Sudah siap untuk pulang?” tanya Gary. Aku mengangguk.
“Sampai jumpa besok, Lucy, Ryan,” pamitku, melambaikan tangan dan memberikan senyuman lebar kepada mereka. Gary ikut melambaikan tangan kepada mereka.
Lucy dan Ryan berpamitan dengan melambai dan berjalan menuju mobil Lucy. Aku dan Gary melangkah ke Volvo biru Gary dengan lengan Gary melingkari bahuku. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Mendesah lega saat suhu udara di dalam mobil sedikit lebih hangat dari udara di luar.
“Dingin ya?” tanya Gary saat masuk dan menggunakan sabuk pengaman.
“Lumayan,” jawabku dan ikut menggunakan sabuk pengamanku.
Kami mulai berkendara dalam diam untuk beberapa saat. Aku dapat melihat Gary kelelahan dan rasa khawatirku mulai meronta ingin keluar dari salah satu sudut di dalam hatiku, tempat aku menyingkirkannya untuk sesaat.
“Bagaimana makan malamnya?” Gary mulai membuka pembicaraan
“Oke, makanannya enak. Kapan-kapan kita bisa kesana lagi jika kamu mau coba,” jawabku. Gary hanya menjawab dengan anggukan kepala dan tersenyum.
Setelah itu kami duduk dalam diam. Aku dapat melihat dia sedang berpikir keras. Aku seperti dapat melihat roda-roda di kepalanya berputar, memikirkan begitu banyak masalah dalam satu waktu bersamaan. Gary adalah orang yang tidak akan bercerita sebelum ditanya karena dia merasa itu beban tanggungannya sendiri. Aku sering berpikir, mungkin dia seperti itu karena dia sudah sejak kecil harus berjuang sendiri sehingga dia masih merasa harus menjalani semuanya sendiri.