5
Pagi ini matahari bersinar terang. Cuaca terasa sedikit hangat di pertengahan bulan Juli. Waktu menunjukkan pukul 7.20 pagi saat aku melangkah keluar dari bus dan melangkah menuju Café Amore. Aku berjalan menuju pintu saat tiba-tiba seseorang keluar dari pintu dan menabrak aku. Dia menumpahkan sedikit minuman panasnya ke pakaianku. Rasa panas merambat ke kulitku membuat aku meringis kesakitan.
“What the…” ucapku dan berhenti sebelum aku mengeluarkan makian.
“Astaga, saya minta maaf,” ucap perempuan yang menabrak aku.
Aku memberinya tatapan datar dan menghela napas. Dia mengucapkan minta maaf berulang dan mengusap kemejaku dengan tissue di tangannya.
“Jangan, kamu hanya membuat kemejaku semakin kotor,” ucapku menepis tangannya.
“Maaf, sungguh saya minta maaf. Apakah ada yang bisa saya lakukan?” tanyanya lagi.
“Sudah, tidak apa-apa,” ucapku dan segera melangkah ke dalam café.
Aku menatap kemejaku dan memaki dalam hati. Hari masih pagi dan kemejaku sudah seperti ini, bahkan aku belum melakukan apa-apa. Noda ini semakin buruk karena hari ini aku menggunakan kemeja putihku. Putih. Aku sudah jengkel duluan memikirkan caraku membersihkan kemeja ini nanti, ugh.
“Apa yang terjadi dengan kemejamu?” tanya Ezra menatap kemejaku.
“Seseorang menabrak aku dengan minuman panas di tangannya. Alhasil ini,” aku menunjuk kemejaku, “dan kulitku terasa seperti terbakar di balik baju ini,” ucapku dengan memutar bola mataku.
“Uh oh, Avabelle sangat jengkel,” ucap Ezra menggodaku.
“Well, tentu saja,” aku menghembuskan napas. “Anyway, aku mau satu cappuccino panas dan caramel macchiato dengan soymilk.”
“Oke,” Ezra mulai membuatkan pesananku setelah aku membayar untuk minumanku di kasir.
Aku memerhatikan Café Amore. Seiring waktu, Café Amore semakin ramai dengan pengunjung bahkan di waktu sepagi ini. Menu yang diciptakan Ezra dan timnya juga sudah berkembang. Awalnya café ini memiliki lima belas menu jenis minuman, hari ini menu itu sudah dikembangkan hingga kurang lebih dua kali lipatnya.
“Bagaimana akhir pekan kamu?” tanyanya.
“Seperti biasa, ada beberapa hal yang harus aku urus,” ucapku.
“Sudah lama sekali kita tidak hangout. Akhir pekan kamu semakin sibuk,” ucapnya.
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Sudah lama dari sejak kali terakhir aku hangout dengan Ezra dan yang lainnya. Kebanyakan akhir pekan aku habiskan di markas sejak mengetahui keberadaan Organisasi Oneiropólos terutama hari Minggu untuk latihan. Mungkin aku bisa menyempatkan waktu sebentar di Sabtu ini.
“Aku tahu, maaf ya. Aku akan cek jadwalku, mungkin Sabtu aku ada sedikit waktu luang. Tapi bukannya akhir pekanmu juga tidak sepi-sepi amat? Pasti kamu menghabiskan waktu dengan James, bukan?”
“Yeah, saat kami sama-sama ada waktu,” jawabnya sambil menyerahkan minuman pesananku.
“Apakah kamu ada kasus besar lagi?” tanyanya.
“Eh? Bagaimana kamu bisa tahu?” tanyaku balik.
“Kamu di sini dan mengobrol denganku tapi pikiranmu sangat jauh entah ada dimana,” jawabnya sambil mengetukkan satu jarinya ke pelipisnya.
“Yeah, banyak pikiran sudah satu paket dengan pekerjaanku, tidak bisa dipisah,” jawabku berusaha bercanda dan tertawa kecil.
Aku segera berpamitan kepada Ezra dan berjalan menuju kantor. Hal ini terjadi, kita tumbuh dewasa dan masing-masing dari kita memiliki kesibukan. Terkadang aku merasa hidup adalah sebuah komidi putar raksasa dengan rutinitas yang seperti itu-itu saja. Hari-hari kita bekerja dan mengulangi kegiatan-kegiatan yang sama setiap harinya. That’s just life, kurasa. Walaupun sebenarnya sebagai detektif aku tidak selalu menjalani kegiatan yang itu-itu saja karena setiap kasus berbeda dan membutuhkan pemecahan yang berbeda-beda terus.
Meskipun saat dewasa kita menjadi jarang menghabiskan waktu dengan teman kita, tetapi sebuah berkat untuk kita memiliki teman yang tetap ada untuk kita di saat kita membutuhkan mereka. Kita memahami kesibukan dari teman kita dan begitu juga sebaliknya. Kita mungkin tidak bertemu atau bertukar cerita setiap hari dengan teman kita, tetapi mengetahui mereka ada disana untuk kita, itu sudah lebih dari cukup.
Aku tenggelam di dalam pikiranku dan tanpa aku sadari aku sudah melangkah masuk ke dalam kantor. Pagi ini kantor dipenuhi aktivitas pagi Senin seperti biasanya. Aku segera masuk lift yang kebetulan sedang berhenti. Lift penuh dengan aku sebagai penumpang terakhirnya. Sesaat kemudian lift berdenting dan menunjukkan angka tiga, aku segera berjalan keluar.
Aku berjalan menuju kantor Gary dan melewati meja-meja Divisi 4 yang masih kosong. Aku dapat melihat Gary duduk di kursinya. Aku mengetuk pintu dan masuk saat dipersilahkan.
“Pagi sekali kamu sudah di kantor,” ucapku dan menyerahkan kopi untuknya.
“Terima kasih. Aku bangun lebih pagi hari ini jadi kupikir ke kantor lebih awal saja sekalian,” ucapnya.
“Penglihatan lagi?” tanyaku.