I Am The Justice

Erika Angelina
Chapter #7

6

6

 

“APA? Jadi pelaku dari kasus ini adalah pembunuh serial?” teriak Laura di lift, membuat telingaku pengang.

“Dari caranya membunuh kemungkinan besar begitu, dan tolong kecilkan suaramu,” ucapku.

Kami melangkah keluar lift saat angka tiga menyala merah di layar digitalnya. Aku berjalan menuju meja kerjaku dengan Laura yang masih tetap membuntuti aku. Saat aku duduk, Laura menarik kursinya dan ikut duduk di sebelahku. Aku membuka kembali laporan petugas polisi mengenai latar belakang korban dan informasi dari tetangga sekitar korban. Laura ikut membaca laporan tersebut bersamaku.

Korban bernama Sarah Camille. Dia berusia 23 tahun dan saat ini bekerja sebagai asisten di kantor perusahaan besar di Highland. Dia tinggal sendiri di rumah yang dia sewa. Sarah Camille memiliki kulit sawo matang dan rambut panjang berwarna hitam dengan highlight pirang. Jika kasus ini berpotensi menjadi kasus pembunuhan serial, mengenali dan memahami semua hal mengenai korban akan sangat krusial.

Tetangganya tidak memberikan banyak informasi. Mereka tidak begitu mengenalnya karena Sarah Camille baru mulai tinggal di rumah itu selama kurang dari setengah tahun. Pemilik rumah, Mr. Lois sedang berada di luar kota dan hari ini baru kembali. Di bawah nama Mr. Lois tercatat nomor teleponnya. Aku mengangkat telepon kantor dan menekan angka-angka nomor tersebut. Telepon diangkat pada dering ketiga.

“Halo?” terdengar suara seorang laki-laki di ujung telepon.

“Selamat sore Mr. Lois, saya Detektif Avabelle Vernice dari Kepolisian Pusat Highland. Saya menelepon mengenai kasus yang terjadi di salah satu rumah yang Anda sewakan.”

“Oh, ya selamat sore, Detektif. Soal Sarah Camille ya? Mengerikan apa yang terjadi kepadanya,” jawabnya.

“Betul. Apakah saya dapat bertemu dengan Anda? Saya memiliki beberapa pertanyaan yang butuh saya tanyakan dan akan lebih baik jika kita bertemu secara langsung,” ucapku.

“Baik, apakah saya perlu ke Kantor Kepolisian Pusat Highland?” tanyanya.

“Tidak, kita bisa bertemu di rumah yang Anda sewakan kepada Sarah Camille, tapi saya minta tolong untuk tidak menginjakkan kaki di rumah itu sampai saya tiba.”

Aku langsung mengajak Laura untuk ikut denganku. Aku mengambil kunci dan berjalan menuju lift. Lift terbuka di basement dan kami langsung berjalan menuju mobil Chevrolet Tahoe milik kantor yang sering aku gunakan. Aku dan Laura berkendara dalam diam. Akhirnya sedikit ketenangan, pikirku.

Saat mobil berhenti karena lampu merah, aku melirik Laura dan sadar apa yang membuat dia diam. Dia sedang membaca dan mencatat informasi dari laporan yang sudah ada. Awal yang baik. Dia terlihat sungguh-sungguh dan bersemangat untuk membantu dalam kasus ini.

Akhirnya kami tiba di depan rumah dengan cat putih itu setelah berkendara kurang dari setengah jam. Di depan rumah tersebut terdapat sebuah mobil berwarna putih kusam dan di luarnya berdiri seorang laki-laki yang bersandar pada mobil. Mr. Lois, asumsiku, sedang merokok di samping mobilnya. Laura hendak keluar dari mobil tetapi segera berhenti bergerak saat aku menahannya. Aku akan menunggu sesaat dan memerhatikan perilaku Mr. Lois. Ini juga jadi salah satu alasan aku parkir sedikit jauh dari rumah yang menjadi TKP kasus ini.

Laura tidak banyak bertanya. Dia sangat aktif dalam berbicara tetapi aku sangat bersyukur dia memahami kondisi dan dapat serius di saat seperti ini. Aku terus memerhatikan Mr. Lois yang hanya merokok dan terlihat menghela napas berkali-kali. Setelah sekitar lima belas menit memerhatikan, tidak terlihat adanya gerak gerik yang mencurigakan dari Mr. Lois. Akhirnya aku mengajak Laura untuk berjalan keluar dan mendekati Mr. Lois.

“Mr. Lois, saya Detektif Avabelle. Kita berbicara lewat telepon tadi. Terima kasih untuk waktunya,” sapaku saat sudah cukup dekat dengannya.

Masing-masing dari kami menyalami tangan Mr. Lois bergantian. Rokok masih menempel di bibirnya. Aku tidak pernah suka bau rokok dan tidak akan pernah bisa terbiasa. Tetapi aku tentunya dapat mengendalikan reaksiku di sekitar orang yang merokok karena banyak rekna-rekan kerjaku yang juga merokok.

“Jika Anda tidak keberatan saya ingin bertanya sedikit. Apa yang Anda ketahui mengenai Sarah Camille?” aku mulai bertanya. Laura terlihat memberikan perhatian penuh pada Mr. Lois dengan buku catatan dan pena siap di tangannya. Mr. Lois menghembuskan asap rokok sekali sebelum menjawab.

“Sarah Camille, perempuan yang cantik. Dia bekerja sebagai asisten di Perusahaan Blu. Ada rumor bahwa dia menjadi selingkuhan dari bosnya dan menurut saya itu tidak mengejutkan. Selebihnya saya tidak tahu. Saya hanya peduli penyewa rumah saya membayar dengan tepat waktu dan Sarah Camille adalah penyewa yang baik. Membayar sewa tepat waktu, merawat rumah dan isinya dengan sangat baik, dan tidak pernah minta macam-macam. Sekarang saya akan kesulitan mencari penyewa baru di rumah ini. Sialan,” ucapnya, nyaris meludahkan kata terakhirnya.

Laura terlihat ingin memberikan respons tetapi aku memberikan dia peringatan melalui tatapanku. Aku jarang – tapi bukan tidak pernah – mendapatkan reaksi setidak peka ini dari orang lain terhadap seseorang yang telah meninggal. Apa lagi meninggal dengan tragis seperti yang terjadi pada Sarah Camille.

“Apakah Anda mengetahui orang di sekitar Sarah Camille yang mungkin memiliki masalah dengan dia atau mengingini hal buruk terjadi kepadanya?” tanyaku lagi.

“Entah lah, saya tidak mengetahui kehidupan pribadinya. Tapi jika rumor selingkuhan itu benar, pasti banyak yang membenci dia,” jawabnya lagi. Tidak ada sedikit pun empati yang ditunjukkan oleh Mr. Lois.

“Baik lah. Jika saya boleh bertanya lagi, dimana Anda kemarin malam dari pukul sembilan malam hingga dua belas malam?”

“Saya sedang liburan dengan keluarga saya dengan mengunjungi orang tua saya di Kota Sheeft. Saya baru kembali siang tadi,” jawabnya.

“Apakah Anda dapat memberikan bukti untuk memperkuat pernyataan Anda, Mr. Lois?” tanyaku.

“Apakah Anda mencurigai saya sebagai tersangka?” tanya Mr. Lois dengan tajam. Tiba-tiba dia menjadi defensif.

“Ini hanya prosedur dari pekerjaan saya sebagai detektif,” jawabku mencoba meyakinkannya. Mr. Lois masih berdiri diam dan menatapku selama sesaat sebelum akhirnya dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan lembaran tiket pesawat dan nota biaya tinggal di hotel. Aku mengambil foto dari bukti yang diberikan Mr. Lois.

“Anda bisa bawa saja kertas-kertas ini, Detektif,” ucapnya menyerahkan kertas itu kepadaku. Aku mengambil kertas itu dan menyelipkannya di dalam buku catatanku.

“Baik lah, terima kasih untuk waktu dan kerja samanya Mr. Lois. Ini kartu nama saya. Jika Anda ingat suatu detail lain mengenai Sarah Camille yang mungkin akan bermanfaat dalam kasus ini jangan segan untuk menelepon saya,” ucapku dan menyalami tangannya.

“Kapan saya dapat membersihkan rumah ini dan mulai menyewakannya lagi?” tanyanya sambil menginjak rokok yang dia buang di atas tanah.

“Kami akan mengabarkan perkembangannya kepada Anda. Mohon tidak menginjakkan kaki ke dalam rumah ini sampai kami memberikan izin,” jawabku dengan nada sedikit tajam.

Mr. Lois menganggukkan kepala singkat dan segera masuk ke dalam mobilnya. Aku berdiri bersama Laura di depan rumah itu dan menunggu sampai Mr. Lois meninggalkan area rumah ini. Setelah Mr. Lois pergi, aku berjalan menghampiri mobil sedan hitam yang terparkir di bawah pohon sedikit jauh dari rumah Sarah Camille. Dua orang, polisi dalam penyamaran, sedang duduk di dalamnya.

“Sangat tidak sensitif,” ucap Laura kepadaku.

“Mr. Lois?” tanyaku.

“Iya. Seseorang meninggal dengan cara sadis dan yang dia terus bicarakan adalah mengenai penyewaan rumahnya.” Laura menggeleng-gelengkan kepalanya, menunjukkan tanda tidak setujunya.

Aku ingin bilang aku terkejut, tetapi sayangnya tidak bisa. Aku telah bertemu dengan banyak Mr. Lois lainnya selama aku bekerja sebagai detektif di Divisi 4. Lebih banyak dari yang akan orang-orang kira. Kami tiba di samping mobil sedan hitam dengan kaca gelap tersebut. Aku mengetuk pelan kaca dari mobil sedan hitam itu.

“Apakah ada laki-laki atau kendaraan yang mencurigakan?” tanyaku.

Dua petugas polisi itu memberikan laporan bahwa mereka tidak melihat adanya aktivitas yang mencurigakan dari kemarin. Aku memutuskan untuk menyudahi pengawasan karena seharusnya operasi peyamaran dilakukan dengan surat perintah melalui tahap birokrasi yang akan membutuhkan bukti nyata dan darurat sehingga dibutuhkan operasi ini. Aku yakin aku akan mendapatkan masalah jika menjalankan operasi penyamaran lebih lama dari satu hari tanpa izin seperti ini. Ini saja aku pasti mendapat masalah jika pihak atas di kepolisian mengetahui operasi ini. Maka aku mengirim dua petugas polisi itu untuk pulang.

Lihat selengkapnya