I Am The Justice

Erika Angelina
Chapter #8

7

7

 

“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Gary.

Aku tersadarkan dari lamunanku. Pagi ini aku berangkat ke kantor bersama Gary. Tidurku tidak tenang tadi malam. Wajah pelaku menghantui mimpiku tadi malam. Aku dapat melihat dia berada di sebuah ruangan yang kosong dan cukup kecil. Ruangan tersebut berlantai kayu dan memiliki atap miring yang cukup rendah. Aku tidak dapat melihat ada orang lain di ruangan itu dan tidak dapat melihat apa bahaya yang dia sebabkan. Aku hanya melihat dia duduk menatap keluar jendela. Aku tidak percaya akan mengatakan ini, tetapi mimpiku tadi malam aneh.

“Maaf, kamu bilang apa tadi?” tanyaku.

“Apakah kamu baik-baik saja? Sejak kemarin kamu terlihat…tidak fokus,” ucap Gary. Dia memilih kata dengan sebaik mungkin agar tidak menyinggung aku.

“Iya aku baik-baik saja, jangan khawatir,” ucapku mencoba meyakinkan Gary.

Tadi malam Gary menelepon aku memastikan aku sudah pulang dengan aman. Dia bertanya kepadaku lagi kenapa tiba-tiba tidak jadi untuk pulang dengannya. Aku sekali lagi berbohong dengan menjawab aku meninggalkan ponsel Sarah Camille di meja dan ada perlu dengan Ezra yang baru aku ingat saat akan pulang. Aku terlalu lelah untuk membahas hal-hal yang kecil.

“Kamu tahu, kamu bukan pembohong yang baik,” ucap Gary menatapku saat mobil telah berhenti di salah satu tempat parkir di basement kantor.

“Aku tahu,” aku menjawab dengan tertawa.

Sejujurnya aku merasa konyol. Aku percaya dengan Gary dan seharusnya aku tidak merasakan emosi seperti cemburu karena aku percaya, apa yang aku miliki dengan Gary tidak semudah itu untuk rusak. Tetapi aku tidak dapat mengendalikan rasa dan emosi yang datang. Pada akhirnya, aku hanya manusia biasa yang memang penuh dengan rasa dan emosi.

Aku dapat melihat kekhawatiran Gary terpancar jelas di matanya, tetapi dia tidak mendorong aku lebih jauh. Dia tahu saat aku siap, aku akan menceritakan apa yang menjadi kegelisahanku. Gary menggenggam tanganku dan memberikan kecupan singkat pada tanganku sebelum kami turun dari mobil. Perbuatan kecil ini membuat wajahku terasa panas. Gary tersenyum lebar melihat reaksiku.

Kami segera melangkah menuju lift dan menuju lantai tiga. Hari ini aku akan bertemu dengan Harry Jones untuk mewawancarai dia sebagai saksi. Mungkin dia mengetahui sesuatu yang dapat menjadi petunjuk dari kasus ini. Aku membuat janji bertemu dengan dia pukul sembilan pagi. Harry Jones akan datang ke Kantor Kepolisian Pusat Highland karena menurutnya akan lebih aman untuk wawancaranya dilakukan di sini saja.

Hari masih cukup pagi saat aku dan Gary tiba di kantor, tetapi ternyata Laura sudah duduk dengan manis di mejanya. Tindakan ini dapat berarti baik karena menunjukkan bahwa dia antusias untuk bekerja. Dia melambai bersemangat saat melihat aku dan Gary berjalan keluar dari lift. Gary merespon dengan senyuman dan anggukan kepala. Gary segera masuk ke kantornya dan aku duduk di mejaku.

“Pagi,” sapaku kepada Laura saat aku telah duduk di kursiku.

Aku mendapatkan beberapa hal baru mengenai Sarah Camille sebagai hasil dari berjam-jam waktu yang aku habiskan tadi malam untuk memeriksa ponselnya. Dari ponselnya aku dapat melihat dia orang yang sangat supel. Dia terlibat di banyak group chat, kalender di ponselnya ditandai dengan banyak kegiatan bersosialisasi pada akhir pekan, dan jumlah pesan dan telepon yang masuk dari orang-orang yang mencari dia saat tidak dapat dihubungi hari minggu mencapai ratusan.

Aku menyimpulkan Sarah Camille adalah satu orang yang selalu disukai dalam suatu lingkaran sosial dan dapat menimbulkan rasa cemburu dari pihak tertentu. Walaupun begitu, aku tidak dapat menghubungkannya dengan kejadian yang menimpanya. Bukti-bukti yang ada dari kasus ini dan kejadian pembunuhan itu sendiri tidak mengarah kepada crime of passion yang paling mungkin terjadi jika dimotivasi oleh rasa cemburu. Hingga saat ini, kejadian ini paling mungkin dilakukan oleh orang yang tidak mengenal Sarah Camille, begitu juga sebaliknya.

Harry Jones tiba tepat sepuluh menit sebelum jam di tanganku menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku segera turun ke lobi untuk menemui dia. Harry Jones sangat mudah dikenali dengan rambut merah terangnya dan lengan yang penuh dengan tato. Dia berpakaian rapi dengan kaos bekerah dan celana jeans hitam panjang.

“Mr. Jones. Saya Detektif Avabelle yang menghubungi Anda kemarin,” sapaku saat sudah cukup dekat dengannya.

“Detektif,” dia menyalami tanganku. Setelah lebih dekat aku dapat melihat wajahnya sangat kusut dan matanya masih sedikit bengkak dan berwarna merah.

“Terima kasih untuk waktu dan kerja samanya. Mari,” aku mulai berjalan dan mengarahkan Harry Jones ke salah satu ruang wawancara yang ada di lantai dua. Sebelum aku turun ke lobi untuk menemui Harry Jones, aku sudah meminta Laura untuk menunggu dan menyiapkan ruangan. Dia telah merapikan ruangan dan menyiapkan minuman di meja untuk Harry Jones.

“Silahkan duduk dengan nyaman, Mr. Jones,” ucapku.

“Panggil saya Harry saja, Detektif.”

Aku ikut duduk di depannya dan Laura duduk di sebelahku. Aku membuka buku catatanku dan menyiapkan pena di atasnya.

“Bagaimana kabar Anda, Harry?” tanyaku.

“Sebaik yang dimungkinkan. Saya bertahan sebaik yang saya bisa.”

Aku menjelaskan secara singkat bahwa wawancara ini akan kami rekam untuk kebutuhan dokumentasi dan hanya akan kami lakukan jika dia menyetujuinya. Harry Jones menjawab dengan anggukan kepala. Aku langsung menekan tombol di dekat microphone untuk menyalakan alat rekam tersebut.

“Hari ini Selasa tanggal 20 Juli pukul 9.05 pagi, hadir di dalam ruangan, saya Detektif Avabelle Vernice,” ucapku membuka sesi wawancara ini. Aku menatap Laura untuk menyebutkan namanya.

“Laura Stacey.”

Lihat selengkapnya