I Am The Justice

Erika Angelina
Chapter #9

8

8

 

Hari berjalan dengan cepat. Hari ini aku tidak mendapatkan apa-apa yang membantu penyelidikan. Tidak ada senjata pembunuhan yang pasti. Tidak ada identitas tersangka. Tidak ada kejelasan dari motivasi pelaku melakukan aksinya. Area perumahan tempat kejadian juga tidak dilengkapi dengan pengawasan CCTV. Tidak ada saksi mata yang dapat mengidentifikasi pelaku. Aku menemui jalan buntu.

Menemui jalan buntu adalah sesuatu yang paling ditakutkan oleh detektif dalam penyelidikan suatu kasus. Korban sudah meninggal dan tidak dapat memberikan suaranya lagi. Itu menjadi tugas kami, sebagai detektif, mewakili suara korban untuk memberitahu dunia mengenai kenyataan yang telah terjadi kepada mereka.

 Satu hal yang aku tahu pasti, pelaku jelas sudah mempersiapkan dirinya dalam melakukan aksinya sehingga tidak meninggalkan apa-apa untuk kami. Aku percaya sebutan dari TKP yang aku miliki adalah organized crime scene. Aku menghela napas dan melempar tubuhku untuk bersandar di punggung kursiku. Rasa frustasi memenuhi diriku. Aku memejamkan mata sesaat dan memijat area antara kedua mataku.

“Avabelle,” suara Hellen terdengar pelan saat aku hampir terlelap. Aku membuka mata dan merasa silau karena mataku langsung menatap salah satu lampu di ceiling.

“Kami mau makan malam bersama, kamu mau ikut?” tanyanya.

Aku membenarkan posisi dudukku dan melihat rekan-rekan detektif Divisi 4-ku sudah berdiri dan sedang beres-beres. Aku memerhatikan jam di dinding. Hari belum terlalu larut sehingga aku memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Lagi pula aku juga merasa lapar.

“Mau makan dimana?” aku turut bangun dan mulai membereskan barang-barangku.

“Marcus punya kupon untuk restoran ramen baru di dekat sini,” jawab James.

Membayangkan ramen dengan kuah panas membuat perutku berbunyi. Aku meminta mereka menunggu sebentar saat aku masuk ke kantor Gary untuk mengajaknya.

“Apakah kamu mau ikut makan bersama yang lain?” tanyaku dari pintu.

“Maaf, aku tidak bisa. Masih ada beberapa hal yang perlu aku urus. Kamu pergi saja duluan, nanti aku menyusul kalau bisa,” jawabnya.

Aku mengangguk singkat dan kembali bergabung dengan yang lain. Kami semua – termasuk Laura – segera berangkat ke restoran yang dimaksud Marcus dengan mobilnya dan mobil Hellen. Hellen, aku, dan Laura berada di satu mobil sedangkan Marcus dan James di mobil lainnya. Jarak restoran dari kantor cukup dekat, hanya membutuhkan waktu lima belas menit perjalanan saja.

Kami nyaris tidak mendapatkan tempat parkir karena restoran sangat ramai. Ternyata hari ini adalah hari grand opening dari restoran ramen dengan nama Shokuyoku ini. Restoran ini memiliki desain dengan dominan material kayu dan memiliki pencahayaan kekuningan yang menambah suasana hangat. Lampion merah besar bergantungan di setiap sisi atap bangunan.

Aku terkejut karena kami bisa langsung masuk dan mendapatkan meja karena saat kami tiba, orang-orang masih berdiri mengantri di meja penerima tamu. Kami diarahkan oleh salah satu staf untuk duduk di dalam ruang VIP. Saat pintu tertutup, kebisingan dari luar juga ikut teredam. Ruangan ini memiliki projector yang menembakkan gambar suasana musim semi Jepang di salah satu sisi dinding.

“Bagaimana kamu bisa membawa kita langsung masuk, Marcus?” tanya Hellen, menyuarakan pertanyaan kami semua.

“Aku kenal dengan pemiliknya,” jawabnya singkat.

Kami segera duduk dan membuka buku menu tanpa banyak bicara karena kami semua sudah sama-sama lapar. Perutku langsung berbunyi dengan hanya menatap gambar-gambar ramen di buku menu ini. Saat kita lapar semua makanan akan terlihat enak dan membuat kita jadi lapar mata. Aku harus menahan diri dan menyadari kemampuan makanku agar tidak memesan makanan berlebihan yang akan berakhir dengan membuang makanan.

Kami semua menatap buku menu dalam diam selama lebih dari lima menit sebelum akhirnya memesan makanan. Aku berakhir dengan memesan spicy signature tatanmen dan kami memesan dua porsi gyoza untuk dibagi. Staf restoran segera meninggalkan ruangan dan meminta kami menunggu sekitar kurang lebih dua puluh menit untuk makanan kami.

Sesaat setelah staf itu keluar ruangan, seorang perempuan berjalan masuk ke ruangan. Dia menyapa kami dengan ramah dan memperkenalkan dirinya sebagai pemilik restoran. Pemilik restsoran ini ramah sekali menyapa satu per satu tamunya di hari buka restorannya, pikirku dan sepertinya itu juga pikiran yang ada di kepala Hellen, James, dan Laura. Tiba-tiba perempuan itu – Julia Matsui – berjalan ke arah Marcus yang sudah berdiri dan memeluknya serta memberi kecupan di pipi Marcus. Mata kami semua memerhatikan mereka berdua. Kemudian Marcus memperkenalkan lagi Julia kepada kami.

“Perkenalkan, Julia Matsui adalah tunanganku,” ucap Marcus.

Kami saling menatap satu sama lain. Aku rasa tidak ada dari kami yang tahu bahwa Marcus memiliki kekasih, apa lagi tunangan. Setelah aku pikir-pikir, Marcus dan Gary adalah dua orang yang paling penuh rahasia di Divisi 4. Mereka berdua menjunjung tinggi privasi hingga sepertinya orang-orang di kantor tidak akan ada yang tahu kehidupan mereka di luar kantor.

“Ah, pasti Marcus tidak pernah membicarakan aku di kantor ya?” tanya Julia Matsui dengan diikuti tawa.

Julia Matsui mengobrol dengan kami. Dia sangat ramah. Keramahannya membuat kami merasa sudah kenal dengan dia berbulan-bulan dan bukannya baru mengetahui eksistensinya lima menit lalu. Setelah mengobrol dengan Julia Matsui beberapa saat, dia pamit untuk kembali bekerja dan tidak lama kemudian makanan kami tiba. Julia juga memberikan kepada kami makanan penutup secara gratis berupa es krim mochi.

“Apakah kalian sudah mendengar tentang aksi-aksi vigilante[1] yang terjadi di Divisi 13?” tiba-tiba Marcus membuka pembicaraan saat kami masih menikmati makanan penutup masing-masing. Divisi 13 adalah Special Victims Division (SVD), dimana mereka menangani semua kasus yang melibatkan berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk yang terjadi kepada anak-anak.

“Apa yang terjadi?” tanyaku. Tiga kepala lain ikut terangkat dan menatap Marcus dengan serius.

Marcus mulai bercerita. Telah beberapa bulan ini Divisi 13 mendapatkan laporan-laporan dari korban percobaan pemerkosaan yang digagalkan oleh seseorang yang misterius. Saat polisi tiba di lokasi kejadian, pelaku telah diikat dengan sebuah kertas ditempel di dadanya dengan kalimat ‘Saya melakukan percobaan pemerkosaan terhadap perempuan di rumah ini. Tolong tangkap saya’. Kasus yang paling baru yang mereka dapatkan terjadi kemarin.

Setiap korban tidak dapat memberikan informasi identifikasi orang yang telah menolong mereka. Mereka menjawab bahwa mereka terlalu takut untuk menyadari keadaan di sekitarnya dan hanya dapat bersyukur saja bahwa kejadian itu tidak terjadi kepada mereka. Namun, beberapa detektif di Divisi 13 yakin ada beberapa dari korban yang sebenarnya melihat siapa orang yang telah menolong mereka tetapi memilih untuk tidak memberikan informasi itu kepada pihak kepolisian.

“Bukannya Divisi 13 tidak menghargai usaha seseorang yang mencegah aksi pemerkosaan agar tidak terjadi, tetapi mereka ingin mengetahui siapa orang itu dan bagaimana dia mengetahui pelaku akan melakukan aksinya,” tambah Marcus di akhir ceritanya.

“Tapi pasti ada pihak yang sangat tidak setuju dengan tindakan orang itu,” ucap James yang diikuti anggukan kepala Marcus.

Aksi vigilante seperti ini akan menimbulkan kontra dan dapat memunculkan rasa frustasi di dalam pihak kepolisian agar orang yang melakukan vigilante itu dapat dihentikan. Jika keberadaan pelaku vigilante ini diketahui publik, rasa percaya publik terhadap kepolisian akan berkurang dengan drastis. Selain itu, menurutku yang pihak kepolisian pedulikan adalah ego mereka dan keberadaan vigilante ini melukai ego lembaga.  Saat ini saja reputasi polisi juga sudah kurang baik di mata publik.

Lihat selengkapnya