17
Langit abu-abu pagi ini berlawanan dengan perasaan penduduk Highland yang bersemangat karena akhirnya Jumat telah tiba lagi, yang berarti akhir pekan. Kendaraan berlalu-lalang dengan lebih tenang. Orang-orang terlihat sedikit lebih bersemangat dan wajah-wajah cerah menghiasi jalan.
Aku memerhatikan wajahku dari kaca spion sesaat sebelum meninggalkan mobil. Aku mendapat tidur kurang dari lima jam tadi malam dan kantung mataku semakin hitam karenanya. Aku mencoba tersenyum dan menyadari senyumku tidak menutupi kelelahanku sama sekali. Aku menghela napas, pasrah. Lagi pula wajah lelah sudah seperti paket dalam pekerjaan ini dan tidak terhindarkan.
Aku melangkah keluar dari mobil dan segera menuju lift. Aku menekan angka lima dan lift segera bergerak dengan tenang. Lantai lima telah cukup ramai, mengingat aku tiba di kantor di waktu yang cukup mepet dengan jam absen kantor. Aku menyapa beberapa petugas polisi yang berpapasan denganku sebelum tiba di dalam ruangan satgas.
Seluruh anggota Satgas Pembunuh Tali Kuning sudah duduk berdua-dua, memeriksa kembali keperluan mereka untuk memeriksa alibi dari lima belas tersangka yang kami miliki saat ini. Aku segera menuju mejaku dan mulai menyiapkan juga buku catatanku.
“Avabelle, tumben siang sekali kamu baru datang,” ucap James yang menolehkan kepalanya menghadapku saat aku berdiri di meja di depannya.
“Iya, aku kesulitan tidur tadi malam, alhasil aku bangun kesiangan,” bohongku dengan lancar.
James segera kembali ke rekannya dan sibuk berdiskusi lagi. Aku segera berdiri di depan ruangan untuk melakukan briefing singkat. Aku menghitung jumlah orang yang ada di ruangan ini di dalam hati. …dua puluh lima, dua puluh enam, lengkap.
“Selamat pagi semuanya. Seperti yang sudah kita bahas kemarin, hari ini kita akan memeriksa alibi dari lima belas tersangka yang nama dan fotonya ada di papan ini,” aku menggerakan tanganku pada foto-foto tersangka. “Gunakan waktu kalian seberapa pun yang kalian butuhkan untuk hari ini untuk memastikan tidak ada yang terlewat,” ucapku sebelum membubarkan tim satgas.
Aku, Laura, dan Henry segera ikut berjalan meninggalkan ruang satgas. Kami masuk ke salah satu mobil polisi yang digunakan Henry. Henry segera duduk di balik kemudi, aku di sampingnya, dan Laura di belakang. Beberapa mobil polisi keluar dari area Kantor Kepolisian Pusat Highland secara beriringan dan mulai terpisah saat tiap-tiap mobil belok ke jalan rute masing-masing.
“Kita ke rumah Alvin Dampsey dulu,” ucapku kepada Henry.
“Bukan kah rumah Ian Bailey lebih dekat? Apakah tidak lebih baik kita menghampiri rumah yang dekat dulu, Detektif?” tanya Henry dengan kening berkerut.
“Kita pergi ke tempat yang jauh dulu, nanti kita ke rumah Ian Bailey di jalan kembali ke kantor,” jawabku singkat. Itu alasan yang aku ucapkan. Alasan sesungguhnya? Aku ingin menghabiskan waktu lebih lama di rumah Ian Bailey, bertanya sebanyak yang aku bisa dan memeriksa apapun yang dapat aku periksa. Itu sebabnya aku ingin rumahnya menjadi tujuan terakhir.
Perjalanan dari Kantor Kepolisian Pusat Highland hingga rumah Alvin Dampsey membutuhkan waktu tiga puluh menit. Henry mengendarai mobil dengan lebih lamban sembari kami memerhatikan nomor pada rumah-rumah yang kami lewati. Hingga akhirnya kami tiba di sebuah rumah dengan papan nomor 159 menempel di dekat pintunya. Rumah tersebut terdiri dari satu lantai dengan cat abu-abu kusam menyelimuti bangunan.
Henry memarkir mobil di tepi jalan dan kami bertiga segera berjalan menuju rumah nomor 159 tersebut. Kami berdiri di teras rumah yang berantakan. Berbagai ukuran kardus yang diisi berbagai barang diletakkan dengan cukup sembarangan di teras rumah. Aku dapat mendengar suara anak-anak dari dalam rumah.
Henry mengetuk pintu tiga kali dan dengan segera pintu dibuka. Seorang perempuan berdiri di depanku dengan seorang bayi di gendongannya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.
“Selamat pagi, apakah benar ini rumah tempat tinggal dari Alvin Dampsey?” tanya Henry.
“Iya, ada apa ya?” tanya perempuan itu lagi. Wajahnya terlihat khawatir.
“Kami dari Kepolisian Pusat Highland, ada beberapa pertanyaan yang ingin kami tanyakan mengenai Alvin Dampsey,” jawab Henry.
Wanita tersebut membuka pintunya dengan lebih lebar dan mengundang kami untuk masuk. Kami berjalan melewati dapur dan ruang makan kecil yang ada di area depan rumah.
“Maaf, rumah saya agak berantakan,” ucapnya sembari menyingkirkan mainan-mainan yang bertebaran di lantai dengan kakinya.
Kami berjalan melewati sebuah koridor dengan beberapa pintu – pintu kamar tidur dan kamar mandi, dugaanku – menuju sebuah ruang keluarga di area belakang rumah. Dua anak kecil sedang duduk di lantai dan bermain.
“Silahkan duduk, saya ambilkan minum sebentar,” ucapnya.
“Tidak perlu repot-repot, kami tidak akan lama,” ucapku sebelum dia beranjak pergi dari ruangan.
Aku mengarahkan dia untuk duduk. Dia segera duduk dan menyuruh dua anaknya untuk masuk ke kamar yang diikuti oleh kedua anak itu tanpa banyak tanya atau perlawanan. Mereka berjalan pergi membawa mainan yang bisa dibawa oleh kedua pasang tangan kecil mereka.
“Jadi begini, sebelumnya perkenalkan saya Detektif Avabelle, ini Petugas Polisi Henry, dan ini Laura. Kami dari Kepolisian Pusat Highland. Apa hubungan Anda dengan Alvin Dampsey, jika kami boleh tahu?”
“Saya Zara Dampsey, kakak dari Alvin. Apakah Alvin membuat masalah?”