19
“INI SEMUA SALAH ANDA! Dasar polisi tidak becus!”
Aku berdiri dalam diam, menerima teriakan dan makian yang diberikan oleh ibu dari Natasha Morris, korban kesembilan dari Ian Bailey. Aku berdiri berhadapan dengan Mrs. Morris di depan flat dengan empat lantai berwarna abu-abu. Natasha Morris tinggal di salah satu flat ini. MO pelaku kali ini sedikit berubah dengan memilih target yang tinggal di sebuah bangunan yang ditinggali banyak orang. Tingkat kepercayaan diri pelaku mulai meningkat.
Beberapa mobil polisi dan ambulans terparkir di depan flat. Garis polisi membatasi area flat agar tidak ada orang tidak berkepentingan yang masuk dan berisiko untuk merusak area TKP. Aku bersama tim Satgas Pembunuh Tali Kuning telah bekerja di TKP sejak subuh tadi. Sekarang matahari telah menyinari dunia dan penduduk Highland mulai beraktivitas. Sudah beberapa menit aku berdiri di depan Mrs. Morris menerima teriakan dan makiannya. Aku bermaksud memberikan dia kabar mengenai apa yang menimpa putrinya saat dia tiba dan hasilnya adalah dia melampiaskan amarahnya kepadaku.
Beberapa orang berkumpul di dekat garis polisi saling berbisik satu sama lain dan menunjuk-nunjukkan jari mereka ke tempat dimana aku dan Mrs. Morris berdiri. Aku tidak perlu menolehkan kepalaku untuk melihat mereka. Aku dapat melihat mereka dengan peripheral view-ku yang cukup baik. Reporter berkumpul di dekat garis polisi, memberitakan kasus ini secara langsung pada siaran berita pagi.
“Mrs. Morris, kami minta tolong untuk masuk ke dalam dulu. Kita bisa bicarakan baik-baik,” Gary mendatangi Mrs. Morris dan berusaha menenangkan dia. Orang yang ditenangkan masih berteriak, menangis, dan menunjuk-nunjuk kami semua, tim detektif dan polisi yang hadir di TKP pagi ini.
Setelah usaha dari Gary dan beberapa polisi lain, akhirnya Mrs. Morris masuk ke dalam flat dan ditenangkan di dalam. Aku menarik napas dalam-dalam dan melangkah menuju mobilku. Reporter berusaha menghadang aku dan meminta informasi dariku.
“Penyelidikan masih berlangsung. Saya harap rekan media dapat bersabar dan menghargai waktu yang kami butuhkan untuk menyelidiki kasus ini. Kami akan memberikan informasi saat kami sudah mendapat perkembangan,” ucapku. Aku dengan segera berjalan menuju mobilku tanpa menghiraukan para reporter dan kamera lagi.
Aku menyalakan mobilku dan mulai berkendara tanpa tujuan jelas. Aku berkendara tanpa arah untuk sesaat, hingga tanpa aku sadari tubuhku secara otomatis mengemudikan mobil kembali ke Kantor Kepolisian Pusat Highland. Hari masih pagi sehingga kantor masih cukup sepi. Aku dengan mudah mendapatkan tempat parkir di basement kantor. Aku segera mematikan mesin mobil dan duduk dalam kesunyian.
Aku lelah. Sangat lelah. Aku meletakkan kepalaku di kemudi mobil dan tangisku pecah. Tangisan keluar dari tenggorokanku dengan histeris. Mrs. Morris benar, ini semua salahku. Kalau aku berani bergerak, tidak akan ada lagi korban seperti ini. Aku lelah. Aku hanya ingin semuanya berakhir.
Aku menangis sejadi-jadinya di dalam mobil. Tangisan yang telah aku tahan sekian lama. Tangisan yang aku coba ganti dengan semangat dalam menangani kasus ini karena jika aku saja putus asa, bagaimana dengan Satgas Pembunuh Tali Kuning yang aku pimpin? Tapi aku masih manusia biasa yang merasakan banyak emosi dan sekarang yang aku rasakan adalah rasa bersalah, putus asa, sedih, marah, semuanya jadi satu.
“Maafkan aku, maafkan aku,” erangku di tengah tangis. Aku minta maaf untuk semua korban. Aku minta maaf untuk keluarga korban. Aku minta maaf untuk kekasih para korban. Aku minta maaf untuk semua teman dan kerabat korban lainnya.
Ponselku bergetar. Aku menatap layarnya. Nama Gary muncul di layar, dia meneleponku. Aku tidak menggubrisnya. Aku tidak ingin berbicara dengan siapa-siapa. Aku hanya ingin sendiri untuk saat ini.
Aku memejamkan mata rapat-rapat dan menopangkan kepalaku pada setir mobil. Tarik napas, hembuskan. Tarik napas, hembuskan. Aku mengulang ucapan itu di dalam hati berusaha menenangkan diriku.
Tok, tok, tok.
Seseorang mengetuk jendela di sisi kursi penumpang depan. Aku mengangkat kepalaku dan melihat Laura. Aku menyeka wajahku dengan asal, berusaha menghilangkah air mataku sebelum membuka pintu mobil. Laura menyapaku dan masuk ke dalam mobil. Dia duduk dalam diam di sampingku.