21
Elaine Jasmine
Hampir sepuluh tahun lalu
“Elaine, oper!”
Seorang perempuan dengan rambut yang dikuncir kepang bernama Elaine, tertulis di atas angka sepuluh di punggung bajunya, berlari menggiring bola basket menuju ring lawan. Dia mengoper bola kepada Sarah yang barusan berteriak meminta bola darinya. Operan bolanya ditangkap dengan mudah oleh Sarah yang langsung kembali menggiring bola tersebut mendekati ring. Sarah mengoper bola kembali kepada Elaine yang telah berdiri di bawah ring. Timer menunjukkan waktu yang tersisa dari permainan kurang dari sepuluh detik lagi.
Elaine melompat tinggi dan melempar bola basket di tangannya saat dia melihat bukaan yang menjadi kesempatan terakhirnya di permainan sore ini. Bola basket masuk ke dalam ring lawan tepat sebelum Ms. Crawford, perempuan di sudut lapangan yang memegang papan jalan di tangannya, meniup peluit di bibirnya menandakan selesainya permainan sore ini. Para pemain basket saling bersalaman dan segera berjalan mendekati Ms. Crawford yang merupakan pelatih basket di sekolah mereka. Hari ini para pemain basket Sekolah Menengah Atas Sunville menjalani ujian untuk seleksi tim yang akan mewakili sekolah pada kompetisi nasional.
Elaine tertawa dan memeluk ringan Sarah, teman baiknya, sebelum ikut berjalan ke tepi lapangan untuk duduk. Mereka bergantian meminum air putih untuk melepas dahaga mereka dari satu botol yang sama. Ya, sedekat itu pertemanan mereka berdua. Suara rendah percakapan dan gurauan terdengar dari tempat para pemain basket sekolah duduk. Mereka semua membicarakan permainan yang baru saja mereka lakukan sore ini. Meskipun begitu, terlihat wajah-wajah tegang menantikan hasil seleksi sore ini, walaupun tidak ada dari mereka yang wajahnya setegang wajah Elaine.
Tim basket Sekolah Menengah Atas Sunville memiliki reputasi yang baik di negara ini. Sekolah ini telah memenangkan pertandingan basket Sekolah Menengah Atas Nasional berkali-kali, menjadikan basket kegiatan tambahan paling populer di Sekolah Menengah Atas Sunville. Maka dapat dibayangkan sebanyak apa siswa yang harus dilawan oleh Elaine untuk mendapatkan salah satu posisi di tim perwakilan sekolah di kejuaraan nasional nanti.
“Aku yakin kita berdua pasti masuk,” bisik Sarah kepada Elaine.
Elaine hanya tersenyum. Dia juga yakin akan hal itu tetapi dia tidak ingin mengucapkannya keras-keras, takut dia menyebabkan ‘jinx’. Keyakinannya bukan didasarkan atas kesombongan, tetapi Ms. Crawford sendiri yang sering mengatakan bahwa dia adalah salah satu pemain terbaik yang mereka punya. Berkali-kali Elaine melirikkan matanya kepada Ms. Crawford dan Mr. Sim, rekan pelatih basket Ms. Crawford, yang sedang berdiskusi di tepi lapangan. Mereka dengan sengaja untuk berdiri jauh dari jangkauan pendengaran para pemain basket.
Sesaat kemudian, kedua pelatih tersebut berjalan kembali, mendekati para pemain basket. Masing-masing dari mereka memegang kertas dengan daftar nama-nama siswa terpilih di dalamnya. Mereka memegang kertas tersebut dengan hati-hati, memastikan daftar tersebut tidak dapat dilihat oleh mata para siswa yang sudah tidak sabar lagi.
“Shh!” Sarah mendiamkan semua pemain basket di lapangan. Seketika seluruh siswa diam dan memberikan fokus mereka sepenuhnya kepada kedua pelatih yang berdiri di depan mereka.
Tanpa basa-basi, Ms. Crawford mulai menyebutkan nama-nama siswa terpilih, dimulai dari tim laki-laki. Rasa grogi Elaine semakin meningkat saat melihat wajah-wajah kecewa dari siswa laki-laki yang tidak terpilih. Kemudian saat giliran nama pemain perempuan disebutkan, Elaine dan Sarah menggenggam erat tangan satu sama lain dan berdoa di dalam hati. Elaine menyilangkan jari telunjuk dan jari tengah tangan lainnya yang tidak bergenggaman dengan Sarah. Dia sungguh butuh kesempatan ini. Jika dia bisa main untuk mewakili sekolahnya di pertandingan nasional, ini akan menjadi jalan emas untuknya mendapat beasiswa kuliah.
“Elaine Jasmine, Kelly Vania, Sarah Lie…” suara Ms. Crawford terdengar di seluruh ruang gymnasium.
Elaine dan Sarah langsung berpelukan dengan erat saat mendengar mereka berdua berhasil masuk ke tim basket terpilih. Perasaan bahagia Elaine membawa dia melambung tinggi karena hal ini berarti kesempatan beasiswa untuk kuliah di kampus pilihannya semakin besar. Sekarang yang harus dia lakukan adalah memastikan dia dapat bermain dengan baik dan membawa timnya menang. Dia tidak terlalu mengkhawatirkan studi akademiknya karena dia selalu berada di lima besar. Jika sedang musim tanding, maksimal peringkat dia turun hingga di sepuluh besar. Prestasi yang masih cukup bagus dengan berbagai kesibukan non-akademiknya di sekolah.
“Sekian latihan kita hari ini, saya harap siswa yang terpilih tetap menjaga kesehatan dan fokus pada pertandingan yang akan datang. Untuk siswa yang belum terpilih, jangan berkecil hati, kesempatan lain akan datang. Selamat sore semuanya,” tutup Ms. Crawford sebelum membubarkan para siswa.
Elaine berdiri dan mengucapkan selamat kepada teman-temannya yang berhasil masuk seleksi dengan melakukan tos atau bersalaman. Dia juga menyalami teman yang belum masuk tim, berusaha tidak membuat mereka merasa tersingkir karena seleksi ini. Kemudian Elaine berhadapan dengan Xavier, senior di sekolahnya yang merupakan kapten basket tim pria yang amat populer di Sekolah Menengah Atas Sunville.
“Selamat Elaine, aku tahu kamu pasti terpilih,” ucap Xavier kepada Elaine dengan tersenyum.
Jantung Elaine berdetak sedikit lebih cepat karena Xavier memegang tangannya, walaupun hanya untuk bersalaman. Elaine sudah beberapa lama naksir Xavier, tapi dia tidak pernah memikirkannya terlalu jauh karena dia sadar diri. Elaine tahu dengan jelas bahwa setidaknya setengah sekolah pasti naksir dengan Xavier. Dia tampan, atletik, kapten basket, ramah…
“Hei,” panggil Sarah. Dia menyenggol Elaine yang masih melamun dan menatap Xavier dari tempatnya berdiri. “Xavier lagi, Xavier lagi. Hati-hati kamu ngiler,” ledek Sarah.
“Eh, tidak kok,” jawab Elaine dengan malu. Pipi Elaine memerah dengan cepat, membuat kebohongannya langsung terbongkar.
“Ayo pulang, Mr. Aldo sudah menunggu kita,” ajak Sarah.
Elaine dan Sarah segera masuk ke dalam mobil sedan BMW merah milik ayah Sarah. Hampir setiap hari Elaine akan pulang menumpang dengan Sarah jika jadwal mereka sedang sama. Jika jadwal mereka sedang berbeda, Elaine akan pulang menggunakan kendaraan umum.
Elaine memang tidak datang dari keluarga yang kaya seperti kebanyakan siswa di Sekolah Menengah Atas Sunville. Banyak siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah tersebut adalah anak dari para pejabat atau pengusaha-pengusaha kaya negara ini. Sedangkan Elaine adalah anak dari keluarga sederhana yang mendapatkan tempatnya di sekolah tersebut dengan usahanya. Bertahun-tahun Elaine dapat mengenyam pendidikan di sekolah mahal dan terbaik berkat beasiswa yang dia dapatkan.
“Besok kamu datang kan ke sweet sixteen Kelly?” tanya Sarah.
“Sepertinya tidak,” jawab Elaine. Dia mengucapkan kata ‘sepertinya’ tetapi sebenarnya di dalam hati jawabannya adalah ‘tidak’.
Elaine tidak pernah suka datang ke acara pesta atau lebih tepatnya pesta teman-temannya yang datang dari keluarga kaya. Beberapa penyebabnya seperti dia tidak memiliki banyak uang untuk membelikan kado mahal untuk temannya dan dia tidak punya pakaian yang cukup bagus untuk dia pakai ke pesta-pesta mewah itu. Selain itu, dia selalu merasa pesta yang diadakan para anak orang kaya di sekolahnya terlalu berlebihan dan tidak terkendali.