24
Masa kini
“Hai, Ava,” sapa Lucy yang berbaring di atas tanah dengan santai padahal aku tahu posisinya sekarang sangat menyakitkan. “Lepaskan aku dulu, boleh?” Aku terlonjak dan segera melepaskan Lucy. Aku berdiri dan melangkah mundur beberapa langkah dari Lucy.
“Kenapa…? Kamu… tapi… kenapa?” aku tergagap dan tidak dapat menyusun kalimat dengan benar.
Aku terkejut bukan main. Ternyata aku tidak mengenal Lucy sebaik yang aku kira. Apakah aku bahkan mengenal Lucy sedikit pun selama satu tahun ini aku berteman dengannya? Apakah bahkan dia menganggapku temannya? Aku membayangkan Ian Bailey yang bergantungan di ruangan gelap tadi dan bergidik. Apakah Lucy yang aku kenal dapat melakukan itu kepada orang lain?
“Ceritanya panjang, lain kali akan aku ceritakan,” jawab Lucy yang sudah berdiri dan sedang menepuk-nepuk pakaiannya. Napas kami berdua pendek-pendek akibat adegan kejar-kejaran yang kami lakukan sejauh kurang lebih lima blok.
“Kamu membunuh seseorang, Luce. Kamu harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sekarang juga kepadaku atau kamu memilih untuk memberikan kesaksian di kantor kepolisian. Pilihanmu,” ucapku dengan tegas. Aku menatap Lucy dengan serius. Aku mengeluarkan borgol dari ikatan di pinggangku sambil berjalan mendekatinya.
“Tenang saja, dia belum mati. Kalau pun dia mati, memangnya akan ada yang dirugikan? Dia sudah membunuh sembilan orang, Ava. Tidak akan ada yang peduli jika sampah seperti dia mati. Kalau pun dia tidak mati di tanganku, cepat atau lambat dia juga akan mati di tangan orang lain,” balas Lucy kepadaku dengan suara yang penuh amarah.
“Luce, ini nyawa manusia. Kamu bukan pembunuh, aku tahu itu. Selama ini kamu hanya menangkap para pelaku pemerkosaan, bukan?” tanyaku lagi. Lucy mendengus saat dia mendengar pertanyaanku.
“Aku sangat menghargai bantuanmu selama ini, menangkap para pelaku pemerkosaan dan percobaan pemerkosaan. Sungguh, aku sangat menghargai apa yang kamu lakukan, Luce. Tapi, Luce, kita punya hukum untuk menegakkan keadilan bagi pelaku dan korban. Kamu tidak bisa ke sana dan ke mari membunuh pelaku seperti ini.”
Lucy menatap aku dengan tatapan tidak percaya. Apakah ada yang salah dari kalimatku? Lucy menyeringai dan perlahan dia mulai tertawa histeris. Reaksinya membuat aku terkejut bukan main. Aku belum pernah melihat Lucy tertawa histeris dan sinis seperti ini. Suara tawanya membuat bulu kudukku meremang.
“Oh, Avabelle. Aku tahu kamu tidak mempercayai apa yang kamu ucapkan barusan,” ucap Lucy setelah dia mengendalikan tawanya.
“Aku menangkap bajingan itu tujuh tahun lalu, Avabelle. Aku menyerahkan dia kepada kepolisian dengan mudah. Served on a silver platter. Hukum dan keadilan? Dia tidak mendapatkan hukum apa-apa dan korban terus mendapatkan ketidakadilan. Di sini lah dia, memperkosa dan membunuh delapan perempuan dan juga seorang suami korban. Dia berhasil mengecoh aku karena dia pernah bertemu denganku. Tetapi apa alasan kalian? Kalian sebagai lembaga hukum yang menegakkan keadilan dengan berbagai teknologi, baru bisa menemukan dia setelah sembilan pembunuhan.”
Lucy berjalan ke tempat suatu pohon besar tumbuh. Dia duduk di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Lucy mengeluarkan ponsel dan sibuk menggerakan jarinya di atas layar ponselnya. Aku masih berdiri diam, tidak tahu pastinya harus bagaimana. Dari kejauhan aku dapat mendengar suara sirine ambulans dan mobil polisi.
“Aku dulu juga percaya pada hukum yang akan membawa keadilan, kau tahu,” ucap Lucy sambil mengembalikan ponselnya ke saku di dalam jaket ponconya. Lucy menepuk pelan akar pohon di sebelahnya, mengajak aku untuk duduk di sebelahnya. Aku merasa ragu sesaat sebelum akhirnya memutuskan untuk ikut duduk di sampingnya.
Kemudian Lucy mulai bercerita mengenai masa lalunya kepadaku. Ternyata Lucy adalah penyintas dari pemerkosaan yang terjadi saat dia masih remaja. Kasusnya tidak ditangani karena pelaku merupakan orang berpengaruh dan kaya. Keluarga pelaku dengan mudah membeli hukum. Kemudian Lucy bertemu dengan ibuku dan Ryan saat dia hampir mengakhiri hidupnya sendiri. Alasan Lucy meninggalkan hidup lamanya. Kemudian siapa nama Lucy sebelum menjalani kehidupan sebagai Oneiropólos. Elaine Jasmine. Nama yang sangat cantik dan elegan, pikirku.
Lucy juga akhirnya menceritakan kepadaku apa yang dia lihat saat mendapat penglihatan. “Seolah-olah hidup tidak mengizinkan aku untuk bergerak maju dan melupakan apa yang terjadi kepadaku,” begitu yang Lucy katakan kepadaku. Semua penglihatan mengenai sex offenders[1] dan bagaimana begitu banyak hukum yang tidak berjalan sesuai dengan yang seharusnya membuat Lucy memutuskan untuk menegakan keadilan sendiri dengan menangkap mereka dan menyerahkan mereka ke polisi.
“Setidaknya meskipun aku terus teringat dengan kejadian yang menimpaku, aku dapat mencegah seseorang di luar sana dari mengalami apa yang aku alami,” jelas Lucy dengan pelan.
Sepanjang bercerita Lucy menatap ke tanaman yang ada di depan dengan tatapan yang kosong. Tatapannya kosong tetapi aku dapat melihat kesedihan yang terpancar di dalamnya. Kesedihan yang terlalu dalam dan tidak dapat diekspresikan lagi dengan air mata. Selain kesedihan, aku dapat melihat kesepian dari tatapannya. Ternyata alasan-alasan ini yang membuat Lucy tidak terlalu dekat dengan siapa pun, kecuali Ryan yang ternyata telah dia kenal sejak awal dia bergabung di Organisasi Oneiropólos.
“Apakah…Ryan tahu, uhm, aktivitas lainmu ini?” tanyaku.
“Tentu saja. Dia yang membantu aku,” jawab Lucy. “Itu dia,” ucap Lucy dan menunjuk sebuah mobil jeep hitam yang baru berhenti di depan mereka. Ryan turun dari mobil dan berjalan ke arah kami.
“Speak of the devil,” seru Lucy kepada Ryan.
“Kalian membicarakan aku ya?” tanya Ryan. Dia kemudian ikut duduk disamping Lucy setelah melambaikan tangannya singkat kepadaku. Aku penasaran sudah berapa lama mereka melakukan ini semua? Semua gerakan yang mereka berdua buat di sekitar satu sama lain terlihat sangat natural.