"Gimana apartemennya, Sayang? Bagus? Nyaman? Keren? Menurut kamu?" tanyaku dengan antusias.
"Waaah, ini lebih dari sekadar bagus, Ndra! Aku suka banget! Fasilitasnya lengkap, ya. Ada TV, kulkas, dapur, dan masih banyak lagi!" seru Tari, matanya berbinar saat ia menjatuhkan diri ke atas sofa putih yang empuk.
Aku tersenyum, lega melihat reaksinya. "Syukur, deh, kalau kamu suka. Sekalian coba juga kamarnya," ujarku sambil membuka pintu kamar apartemen.
Tari mendelik sambil mencebikkan bibir. "Ish! Nakal kamu, ya. Mau ngajak anu, ya," godanya dengan nada menggoda.
Aku terkekeh, melangkah masuk di belakangnya. "Loh, aku nggak mikir gitu, Sayang. Maksudku, cobain tempat tidurnya, lihat lemarinya, dan yang lain-lain."
Tari menyipitkan mata, pura-pura curiga. "Alah, ngeles. Dari kemarin kayaknya bahas itu terus, deh. Aku jadi kepikiran, lho," katanya setengah menggoda.
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang king-size, merasakan kelembutan spring bed yang nyaman. Ia menggeliat santai, meraih guling dan langsung memeluknya erat.
"Kok malah gulingnya yang dipeluk?" tanyaku pura-pura kesal.
"Terus, peluk apa?" balasnya, masih dengan mata terpejam.
"Bukan peluk apa, tapi peluk siapa."
Tari membuka sedikit matanya, lalu menyeringai kecil. "Ya udah. Peluk siapa?"
Aku mendekat, duduk di tepi ranjang. "Aku, lah. Aku ini suami kamu," ucapku setengah manja.
Tapi bukannya mendekat, Tari malah menggeliat malas. "Nggak, ah. Aku capek. Besok aja," katanya sambil membenamkan wajah ke bantal.
Aku mendesah kecil, memiringkan mulut sebagai tanda kecewa. Tanpa berkata-kata lagi, aku beranjak meninggalkannya dan menjatuhkan tubuh ke sofa di ruang tamu. Televisi kunyalakan, tapi pikiranku tetap melayang-layang.
Kami baru saja tiba di Amerika pagi tadi, langsung menuju apartemen yang sudah dipesankan Rasyid untuk kami—California Crown Apartment di Los Angeles. Unit yang kami tempati bertipe studio dengan fasilitas lengkap, hampir seperti rumah sendiri.
Aku duduk malas di sofa, tapi tak lama kemudian mulai gelisah. Berulang kali berganti posisi, mencoba mencari kenyamanan, tapi tetap saja bosan melanda. Hingga akhirnya, aku menyerah.
Pelan-pelan, aku masuk kembali ke kamar. Tari masih terlelap, napasnya teratur. Aku pun menyusup ke sebelahnya, menyelipkan lenganku, lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukanku.
Tak berselang lama, Tari menggeliat kecil, seolah merasakan sesuatu membelenggunya. Perlahan, ia menoleh ke belakang. Pandangan kami bertemu. Aku hanya tersenyum lebar, penuh makna.
Tari menghela napas pelan, lalu mengeratkan pelukannya pada guling. "Ish, dasar," gumamnya setengah mengantuk.
Aku tertawa kecil, semakin mempererat rangkulanku. Malam pertama di Los Angeles, dan aku tahu ini akan menjadi perjalanan yang panjang.
“Sayang, kamu kapan di sini?” Tari mengusap mata dengan lembut, lalu berbalik, kini kami berhadapan langsung. Matanya yang tajam menatapku, dan dengan suara berbisik, ia bertanya, “Kamu ... mau itu?” Tatapannya nakal, dan seketika itu pula, hasrat yang sudah lama terpendam di dalam dada mulai berkecamuk.
Aku menelan saliva, mencoba meredam gelora yang tiba-tiba muncul.
“Mau?” Suaranya semakin seksi, seolah-olah menggoda, memancingku untuk lebih mendekat.
Aku merasa terombang-ambing, baru kali ini aku merasakan keinginan yang begitu mendalam. Setelah menikah dengan Tari, aku biasanya bisa mengendalikan diri, tak pernah begitu terobsesi dengan hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri. Namun, saat ini, semuanya terasa berbeda.
“Nakal.” Tari tersenyum menggoda, bibirnya yang tipis menarik perhatian, semakin membuatku terperangkap dalam pesonanya.
Tanpa berpikir panjang, aku melingkarkan kedua lenganku di tubuhnya, memeluknya erat. Mataku tak bisa lepas dari bola matanya yang bulat dan dalam. Ada sebuah perasaan hangat yang mengalir begitu saja saat melihatnya menggigit bagian bawah bibirnya. Begitu menggoda, membuatku tak tahan ingin lebih dekat, tapi aku tahu betul hari ini Tari sangat lelah. Dengan sedikit menahan napas, kuurungkan niatku, lalu bangkit perlahan.
“Kenapa? Nggak jadi?” Tari bertanya, suaranya terdengar penuh keheranan.
“Besok aja, Sayang. Hari ini kita jalan-jalan dulu, mau? Cari tempat yang romantis,” jawabku sambil mencoba menenangkan diri.