“Sayanggg! Udah siap, belum? Lama banget sih make up-nya!” Aku berteriak dari ruang tamu, berharap Tari mendengar dari dalam kamar.
Aku memang sudah biasa menunggu, sebab seorang perempuan pasti butuh waktu lebih lama untuk bersolek di depan cermin. Dulu, Tari tak begitu tertarik pada make up, tapi setelah menikah denganku, hampir setiap hari dia selalu merias wajahnya. Gincu, maskara, dan sentuhan make up lainnya kini menjadi bagian dari rutinitasnya, dan setiap kali melihatnya, hatiku semakin terpesona.
Tiga puluh menit berlalu sejak Tari selesai mandi. Aku duduk di ruang tamu, menikmati secangkir kopi yang dibuatnya. Tentu saja, kopi di sini terasa berbeda, lebih ringan dibandingkan dengan kopi yang biasanya aku minum di Indonesia.
Semalam, setelah pergolakan emosi dan hasrat yang luar biasa, aku dan Tari sempat berbicara singkat tentang banyak hal. Hari ini, aku berencana mengajak istriku untuk menikmati liburan kecil, menjelajahi beberapa tempat wisata terkenal di California.
“Tari—”
Aku terdiam, terpesona dengan sosok di depanku. Tari kini berdiri di ambang pintu kamar, mengenakan sehelai jumpsuit abu-abu yang pas di tubuhnya. Pakaian itu, meskipun sederhana, memberikan kesan seksi yang begitu menggoda. Dulu, aku tak pernah membayangkan Tari mengenakan pakaian seperti ini, tapi kini aku sadar, apa pun yang dia kenakan, pasti akan terlihat memikat.
Sepertinya, aku jatuh cinta padanya lagi, untuk kesekian kalinya.
Tanpa membuang waktu, aku bangkit dari tempat duduk dan segera meraih tangannya, menariknya ke bawah menuju parkiran apartemen. Kami bergegas menuju mobil.
“Kita mau ke mana, Sayang?” Tari bertanya dengan nada penasaran.
“Ke mana aja. Yang penting kita bersenang-senang,” jawabku dengan senyum. Tanpa ragu, aku menyalakan mesin mobil dan tancap gas, melaju santai di tengah keramaian kota.
Tari sibuk memandangi gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di luar jendela mobil. Struktur dan desain bangunan di Amerika sangat berbeda dengan di Indonesia. Setiap gedung dengan eksterior elegannya, memberikan pesona tersendiri yang membuat kota ini tampak hidup.
Kami melaju ke arah Central Coast of California, daerah yang terkenal dengan pemandangan bukit dan pantainya yang indah. Di sepanjang jalan yang membentang, aku berencana berhenti di beberapa tempat terkenal, seperti Pfeiffer Big Sur State Park dan Garrapata State Park, yang terkenal dengan keindahannya.
“Tempat-tempat di sini ternyata indah-indah, ya. Dulu, aku pernah bermimpi bekerja di negara ini.”
“Buat apa bekerja? Sekarang, kamu hanya perlu duduk manis dan menjadi istriku yang selalu menemaniku,” jawabku sambil mengemudi, senyum mengembang di wajahku.
“Iya, akhirnya mimpi aku tercapai karena kamu. Makasih banget. Aku bisa bepergian ke luar negeri, Ndra. Dan itu semua berkat kamu.” Tari tersenyum penuh syukur, matanya berbinar.
Aku meraih kepala Tari dengan tangan kiri, mengelusnya dengan lembut. Kami tersenyum satu sama lain, menikmati momen kebahagiaan ini.
Sesampainya di sepanjang jalan yang indah, aku menepikan mobil. Di sebelah kanan, tampak bukit yang menjulang, sementara di sebelah kiri, laut yang membentang luas. Tari segera keluar dari mobil dan menyaksikan pemandangan alam yang memukau di depan mata.
Saat matanya tertuju pada laut biru yang luas, segar terasa di dada. Angin bertiup cukup kencang, membawa udara dingin yang menyegarkan.
Rambut lembut Tari yang tergerai tertiup angin, bergoyang dengan indah setiap kali angin menerpa. Aku menatap pemandangan tersebut sejenak, tetapi mataku tak bisa berhenti untuk melihat hal yang lebih memukau dari alam itu—yaitu istriku, yang bagiku lebih indah daripada seluruh pemandangan ini.
Aku meraih kedua tangan Tari, menggenggamnya dengan mesra. Tari kemudian menatapku, matanya yang bulat memancarkan rasa bahagia. Tak bisa dipungkiri, pipinya memerah, meskipun sudah menjadi istriku, tapi tetap saja dia bisa membuat hatiku berdebar setiap kali ia tersipu malu seperti ini.
“Percayalah, kamu lebih indah dari pemandangan yang membentang di hadapan kita. Apa pun alasannya, aku percaya kamu adalah pemandangan paling indah yang diciptakan Tuhan. Tapi, hanya aku yang boleh menikmati keindahanmu. Nggak ada orang lain yang boleh, kecuali aku.”
“Dan bagi aku, kamulah keindahan yang nggak ada duanya. Hanya aku yang boleh menikmati keindahanmu.” Tari membalas dengan lembut, suaranya penuh dengan perasaan.
Setelah itu, aku mendekapnya, merasakan kehangatan tubuhnya yang berpadu dengan dinginnya angin yang terus berembus.
Namun, kedamaian kami tak berlangsung lama. Sebuah mobil menepi tepat di samping mobil kami. Aku melepaskan pelukanku dari Tari, dan menoleh ke arah perempuan yang keluar dari mobil tersebut. Wajahnya terlihat agak bingung, dan sepertinya dia adalah penduduk asli Amerika.
“Hi, can you help me, please?” Perempuan itu bertanya, berhenti tepat di hadapanku.
“What can I do?” jawabku singkat. “Tari, kamu masuk ke mobil dulu aja, ya?” perintahku lembut pada istriku.