I am Your Boss 2: Merawat Harmoni

Marion D'rossi
Chapter #3

Sesuatu yang Mengejutkan

Aku melangkah cepat menuju apartemen dengan hati berdebar kencang, teringat akan Tari yang sedang tertidur sendirian. Dalam benakku, aku mencoba menenangkan diri, berharap semuanya baik-baik saja. "Tari!" teriakku, sambil membuka pintu apartemen dengan suara yang cukup keras. Langkahku tergesa menuju kamar untuk memeriksa. Namun, kamar kosong.

Di mana Tari?

"Tari!" Aku memanggil lagi, panik. Aku segera berlari ke dapur, tapi tak ada jejaknya di sana. Tak ada tanda-tanda keberadaan istriku di seluruh apartemen ini. Rasa cemas menyergap. Apakah orang-orang yang tadi aku lihat itu—yang tampak mencurigakan—menculiknya?

Aku berdiri di tengah ruangan, mataku melirik ke sekeliling. Jantungku berdetak lebih cepat, gelisah. Aku mencoba menenangkan diri, tapi ketakutan semakin membuncah. Tiba-tiba, terasa sesuatu menyentuh bahuku. Aku langsung berbalik, terkejut.

Tari—dengan raut wajah heran dan alis berkerut—berdiri di sana.

“Ya, ampun, Tari,” ucapku, seraya segera meraih tubuhnya. Aku memeluknya erat, seakan ingin memastikan dia benar-benar ada di sini, di pelukanku.

“K-kamu ... kenapa, Sayang?” tanyanya, bingung, masih mencoba memahami reaksiku yang tiba-tiba.

Aku tidak bisa menjawab. Rasa lega dan cemas bercampur jadi satu, membuat aku semakin erat mendekap tubuhnya. Air mataku nyaris saja menetes, tapi aku berhasil menahannya.

“Aku takut kehilangan kamu,” jawabku, dengan suara yang hampir tidak terdengar, sambil terus memeluknya.

Tari mengelus punggungku dengan lembut. “Sudah, ya. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku nggak akan ke mana-mana.”

Aku menarik sedikit diri darinya, memandang wajahnya dengan penuh harap. “Kamu janji?”

“Janji. Aku janji sama kamu,” jawabnya dengan yakin, menatapku dalam-dalam.

Lalu, dengan cepat, aku melepaskan pelukan dan mencium bibirnya yang merona. Kucium dengan penuh hasrat, tak bisa menahan diri. Tanpa melepaskannya, aku mendorong tubuhnya dan kami terjatuh di atas sofa.

Napas kami menderu, tubuhku bergetar, dan dadaku seolah berontak, tak kuasa menahan dorongan hasrat yang datang begitu kuat.

Aku bertahan di atasnya, memposisikan tangan di sisi-sisi kepalanya, menatapnya dengan penuh rasa ingin, tak mampu berpaling dari kecantikannya yang memukau.

“Keindahanmu hanya boleh dinikmati olehku. Hanya aku.”

Tari menatapku dengan penuh gairah. Tangan lembutnya terangkat, meraih kancing jas yang kukenakan. Ia membukanya perlahan, satu per satu, hingga kancing terakhir terbuka.

Aku melepaskan kain yang membalut tubuhnya, melemparkannya begitu saja ke arah yang tak terarah.

“Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji. Aku—” Ucapannya terhenti ketika bibirku kembali menutup bibirnya, merasakan kehangatan yang saling membara.

 

-II-

 

“Kita rencananya tinggal di sini berapa hari?” tanya Tari sambil menata satu porsi Egg Sandwich lezat buatannya di hadapanku. Ia duduk berhadapan denganku di meja makan, matanya penuh perhatian.

“Nggak tahu,” jawabku singkat.

Aku menahan lapar, sudah merasa ngiler dengan Egg Sandwich yang tampak begitu menggoda. Kutelan saliva sebelum akhirnya mengambil sandwich itu.

“Kasihan. Kamu lapar, ya? Makan, gih,” kata Tari dengan penuh perhatian, membuat hatiku semakin hangat.

Aku mengangguk, lalu menggigit sandwich dan mengunyahnya perlahan, menikmati setiap gigitan dengan penuh khidmat.

“Enak!” kataku sambil mengunyah, membuat Tari terkekeh mendengar komentarku yang langsung keluar tanpa menunggu selesai makan.

“Ya, ampun, kamu lucu banget, sih. Telan dulu makanannya, baru ngomong,” ejeknya sambil tertawa ringan.

Aku hanya tersenyum, menikmati suasana tenang yang hanya ada kami berdua.

“Kita di sini selama mungkin,” jawabku, masih dengan mulut penuh sandwich. “Kalau udah puas, baru kita pulang.”

“Terus, rencana kamu kita mau ngapain aja di sini?” tanya Tari penasaran, tatapannya manis.

“Ya, kita senang-senang aja. Pokoknya aku mau berduaan sama kamu di sini. Kalau balik ke Indonesia, aku pasti bakal sibuk banget,” jelasku, lalu menghabiskan potongan sandwich terakhir.

Tari mengangguk, sepertinya setuju dengan rencanaku. “Ya, udah, iya. Terserah kamu aja, deh.”

Aku menatapnya, lalu melirik ke piring. “Sayang,” panggilku, “sandwich-nya masih ada, nggak?”

Tari terkekeh geli, tampak bingung. “Ya, ampun, kamu mau nambah? Laper apa doyan, sih?” katanya, masih tertawa. Aku hanya tercengir, sedikit malu karena permintaanku yang mendadak.

Lihat selengkapnya