“Jadi, tujuan kamu ngajak aku ke sini sebenarnya cuma buat ngejar Pak Hartono?!” Suara Tari cukup tinggi, dan tatapannya menusuk, penuh kekecewaan.
Aku tak mampu membalas pandangannya, hanya menundukkan wajah, merasa berat menghadapinya. Rasanya berbicara jujur hanya akan membuat hatinya semakin terluka.
“Tari—”
“Jawab, Ndra! Jawab aku!” Suaranya semakin keras, dan tatapannya yang sendu kini berubah menjadi penuh kekecewaan yang mendalam.
Aku terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Sakit ini begitu nyata, seperti menyesakkan dada. Aku tahu aku salah. Aku mengkhianati kepercayaan yang sudah diberikan padaku, mengkhianati janji yang pernah kuucapkan.
“Aku bisa jelasin—”
“Kamu pernah janji apa sama aku?! Kamu pernah janji apa, Ndra? Jawab!” Suaranya kini penuh amarah dan air mata.
Itu pertama kalinya aku melihat sisi keras dalam diri Tari. Dan aku tahu, semuanya memang salahku. Akulah yang salah, bukan dia. Aku yang mengkhianati kepercayaannya. Aku yang merusak segalanya.
“Maaf,” kataku lirih, suaraku hampir tenggelam dalam perasaan bersalah yang begitu mendalam.
Hati ini sudah terlalu nelangsa. Suasana di antara kami begitu kelam. Di hadapanku, wanita yang selalu mempercayai dan mencintaiku kini merasakan kekecewaan yang begitu mendalam.
“Aku mau kita pulang ke Indonesia!” Tari menegaskan, suaranya penuh determinasi.
Dengan gelisah, Tari mulai memasukkan pakaian-pakaian kami ke dalam koper, gerakannya penuh kekuatan, seolah ia ingin kabur dari kenyataan ini.
“Tari, tunggu, Tari! Kamu nggak bisa gitu. Aku udah janji sama kamu untuk membawa kamu melihat—”
“Batal! Aku nggak mau ada di sini! Kalau kamu nggak mau balik ke Indonesia, aku akan pulang sendiri!”
Tatapan Tari begitu tajam, begitu penuh tekad. Wajahnya kembali dipenuhi air mata, dan aku merasa seolah-olah kehilangan pegangan.
Aku mendekat padanya dengan lemah tak berdaya. Tangan Tari terangkat, menepis tanganku yang ingin menenangkan. Lalu, dengan kekuatan yang tak terduga, ia mendorongku dengan keras.
“Tari, tunggu dulu—”
“Keluar, Ndra. Aku mau sendiri!” Suaranya terdengar lebih keras, penuh penolakan.
Terpaksa, aku mundur selangkah, pasrah dengan apa yang terjadi. Aku melihatnya menutup pintu kamar dengan keras, seolah menegaskan akhir dari perdebatan ini.
Aku berjalan gontai menuju sofa di ruang tamu. Perasaan nelangsa semakin menyiksa. Rasa bersalah semakin mendalam, semakin menggerogoti hati. Wajahku terasa berat, dihantam rasa sendu yang tak mau pergi. Kalut menguasai pikiran, menegaskan satu hal: aku telah bersalah.
Aku bangkit dari sofa, mondar-mandir di depan televisi, menyilangkan tangan di depan dada. Air mata tak bisa aku tahan, mengalir begitu saja, bersamaan dengan perasaan yang begitu berat di dada. Rasanya seperti ada jeritan yang tak bisa kuucapkan, hanya bisa kuperjuangkan dalam diam.
Aku melangkah menuju kamar, berniat mengetuk pintu, tapi seketika aku teringat kata-kata Tari yang ingin sendiri. Aku urungkan niat itu, merasa tak layak mengganggu saat hatinya sedang hancur. Dengan langkah berat, aku kembali ke sofa, membanting tubuh dengan kepala yang sakit tak tertahankan. Begitu seterusnya, aku terjaga, menanti apa pun yang bisa mengubah situasi ini. Namun, malam pun datang, dan Tari tak kunjung keluar. Ia masih di dalam, dan aku bisa merasakan betapa kecewa dan marahnya dia padaku.
Aku tahu ia belum makan sejak siang. Itu yang mengganggu pikiranku. Aku takut ia sakit, takut ia benar-benar tak ingin berbicara lagi padaku.
"Tari. Keluar, Sayang. Kita cari makan, yuk. Kamu ‘kan, dari siang belum makan," kataku dengan suara parau, mengetuk pintu kamar. Namun, tak ada jawaban.
"Tari. Ayo, dong. Jangan siksa diri kamu dengan cara seperti itu." Aku mengetuk pintu lagi, lebih keras kali ini. Tapi tetap, tak ada balasan. Aku merasa benar-benar bersalah, tahu bahwa aku telah membuatnya marah, menghancurkan perasaannya begitu dalam.
Aku menggelengkan kepala, merasa putus asa, berdiri di depan pintu selama sepuluh menit tanpa mendapat respons. Baru saja hendak mengetuk pintu sekali lagi, pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan meski sedikit semringah, aku merasa ada harapan kecil.
Tari berdiri di sana, memandang ke lantai, tak berani menatapku. Sebelum aku sempat membuka suara, ia berjalan perlahan ke dapur. Aku mengikutinya dengan langkah ragu.
Di dapur, Tari mulai membuka kulkas, mengambil beberapa bahan makanan. Aku tak bisa mengungkapkan betapa terenyuh aku melihatnya. Setelah semua yang telah aku lakukan, setelah aku mengkhianati kepercayaannya dan merusak janji kami, dia malah memasak untukku, tahu betul aku sedang kelaparan.
Sambil sesekali terisak, Tari memotong wortel dengan tangan yang sudah tampak lelah, lalu memasukkannya ke dalam panci. Aku ingin mendekatinya, ingin meminta maaf, tapi aku merasa begitu tak pantas. Jadi, aku hanya duduk di meja makan, memperhatikannya dari kejauhan, menyeka air mata yang semakin deras dengan tangan kanan.
"Ach! Aw!"
Tiba-tiba Tari mengaduh, dan aku langsung melihat ke arahnya, terkejut. Darah mengalir dari jari telunjuknya, mungkin karena ia tak sengaja mengiris jari mungilnya saat memotong bahan makanan. Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari ke arahnya, meraih tangan kirinya dengan panik. Aku memegangi jari telunjuknya yang masih mengucurkan darah, beberapa detik saja, berusaha menghentikan alirannya.