I am Your Boss 2: Merawat Harmoni

Marion D'rossi
Chapter #5

Tanpa Hadirnya

“Tari ….” Suara ini nyaris tak keluar dari tenggorokanku. Aku terlalu kaget, tak mampu bersuara lebih tinggi. Ribuan pertanyaan berputar di kepalaku saat melihat sosok yang kini berdiri di ambang pintu. Tari—istriku sendiri.

Bagaimana bisa? Dari mana dia tahu aku ada di sini?

Aku menatapnya dengan penuh kebingungan. “K-kamu ngapain di sini, Sayang?” tanyaku, suaraku sedikit bergetar.

Namun, Tari tidak menjawab. Ia hanya memandangku sekilas dengan tatapan yang sulit diartikan, lalu berbalik dan berjalan pergi dengan langkah tergesa. Aku terdiam sejenak, tetapi begitu sadar bahwa dia akan menghilang begitu saja, aku langsung bergegas mengejarnya.

“Tari! Sayang! Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi?”

Aku mempercepat langkah, berusaha meraih tangannya. Namun, Tari menepis genggamanku dengan kasar. Aku mencoba lagi, dan kali ini berhasil menghentikan langkahnya, tepat di depan lobi hotel.

Ya, hotel.

Baru kusadari bahwa tempat ini bukan apartemen atau rumah siapa pun yang kukenal. Aku berdiri di tengah lobi sebuah hotel—entah hotel apa—dan yang lebih mengerikan dari semua itu adalah ekspresi Tari.

Matanya penuh dengan air mata. Napasnya tersengal. Rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang berat di dalam dadanya.

“Aku nggak nyangka .…” Suaranya parau, sebelum kemudian tangisnya pecah. “Aku nggak nyangka, Ndra. Aku nggak nyangka kamu tega mengkhianati aku.”

Jantungku mencelos. Aku menelan ludah, otakku berusaha mencerna kata-kata itu.

Mengkhianati?

Pilu. Nelangsa. Sekali lagi perasaan ini menamparku begitu keras. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tidak ingat bagaimana aku bisa ada di sini. Semalam, aku hanya berada di bar—itu saja yang kuingat.

“M-maksud kamu apa, Sayang?” Aku mencoba menggapainya dengan suara yang nyaris tak stabil. “Aku … aku nggak ngerti apa yang kamu—”

Tari mengangkat tangannya, memperlihatkan beberapa lembar kertas. Foto. Saat aku menatapnya lebih jelas, darahku seakan berhenti mengalir.

Itu fotoku. Aku, bersama tiga perempuan yang kutemui di bar semalam.

Dalam foto itu, aku terlihat tidur … tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhku.

Sialan!

Aku menggeleng, tak percaya. Ingin rasanya menyangkal, atau menjelaskan semuanya. Tapi apa yang bisa kukatakan? Bahwa aku tak sadar? Bahwa aku tidak melakukan apa-apa?

Aku tahu ini akan terdengar seperti pembenaran. Tari tidak akan percaya.

Aku menggigit bibirku, menahan emosi yang berkecamuk.

Kenapa kebahagiaan yang sudah susah payah kujaga, bahkan setelah pernikahan, seolah terus direnggut oleh tangan-tangan tak kasatmata?

"Makan perempuan-perempuan genitmu itu!"

Tari melemparkan foto-foto itu ke arahku sebelum berbalik pergi, membawa serta tangis yang tak terbendung.

Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, meninggalkanku bersama keheningan yang terasa begitu menyakitkan. Napasku berat. Aku meremas rambut, memijat pelipis yang mulai berdenyut hebat.

Sial!

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berteriak sekencang-kencangnya. Aku tidak peduli ini di negara orang. Aku tidak peduli tatapan orang-orang di sekitarku. Semua ini terlalu menyakitkan, terlalu mengimpit dada hingga hampir tak bisa bernapas.

Ada yang salah. Ada yang tidak beres. Aku harus segera kembali ke apartemen. Tari bisa saja melakukan sesuatu yang nekat. Dia bisa saja langsung pulang ke Indonesia, meninggalkanku di sini sendirian. Dia bisa saja melakukan hal-hal yang tidak pernah kuduga.

Pikiranku kalut. Dalam perjalanan pulang dengan taksi, aku hanya bisa meremas celana, menahan gemuruh kecemasan yang semakin menjadi-jadi.

Begitu sampai di apartemen, aku bergegas menuju pintu. Terkunci.

"Tari!" Aku menggedor pintu keras-keras.

Aku tahu dia ada di dalam. Aku bisa merasakannya.

Dengan tangan gemetar, aku merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel dan meneleponnya. Tidak aktif.

Sial!

Aku merasakan amarah yang bercampur dengan frustrasi. Tari terlalu gegabah, terlalu cepat mengambil kesimpulan. Aku bahkan belum sempat menjelaskan apa pun.

"Tari! Ayolah! Aku nggak seperti yang kamu bayangin!" Suaraku semakin meninggi. "Aku bahkan nggak sadar! Aku yakin ada yang menjebakku! Ada yang ingin menghancurkan rumah tangga kita!"

Aku kembali menggedor pintu, lebih keras dari sebelumnya.

"Sayang! Buka pintunya! Aku ini suami kamu! Kamu harus dengerin aku!"

Tapi tetap sunyi.

Waktu berjalan, tetapi tak ada suara dari dalam. Tari tidak menjawab, tidak memberikan respons apa pun. Atau … mungkinkah dia tidak ada di dalam?

Aku menutup wajah dengan kedua tangan, lalu menghela napas panjang. Perasaan bercampur aduk. Marah, kecewa, putus asa, semuanya melebur jadi satu. Aku bersandar pada pintu, perlahan merosot ke lantai, lalu duduk dengan lutut tertekuk.

Lihat selengkapnya