"Pak, ada seorang perempuan yang ingin bertemu. Katanya dia mau melamar sebagai sekretaris Bapak. Saya sudah bilang kalau kita lagi tidak butuh karyawan baru, tapi dia keras kepala banget," lapor Lina, resepsionis yang bekerja di perusahaan ini.
"Ya ampun! Kamu tidak becus, Lina. Seharusnya kamu bisa meyakinkan dia kalau kita tidak butuh karyawan baru. Kalau perlu, panggil satpam dan usir dia dari sini!" jawabku, sedikit kesal.
"Tapi, Pak ... orangnya—"
"Sudah, saya yang akan temui dia. Di mana dia sekarang?" potongku, tak sabar.
"Di depan ruangan Bapak," jawabnya pelan, penuh keraguan.
Aku menatap tajam Lina, mengangkat sebelah alis, dan mendengkus kesal. Bagaimana bisa resepsionis sepertinya bisa begitu ceroboh? Seharusnya dia dan satpam yang sudah aku gaji bisa bekerja sama dengan baik. Kalau ada orang yang tidak diundang seperti perempuan itu, mereka berdua harusnya sudah mengusirnya.
Dengan perasaan yang masih dirundung kekesalan, aku berjalan menuju kantorku yang ada di lantai tiga gedung tinggi ini. Perusahaanku memang terdiri dari tiga lantai, dan di atasnya ada beberapa perusahaan lainnya. Sekitar tiga ratus karyawan bekerja di bawah kepemimpinanku, dengan banyak penyumbang dana yang terus membantu perusahaan ini berkembang.
Sesampainya di lorong menuju ruang kerjaku, aku melihat seorang perempuan berdiri di sana. Rambutnya lurus, terikat rapi sampai ke punggung. Ia mengenakan rok selutut berwarna hitam dan atasan putih sederhana. Saat melihatku berjalan menuju ke arahnya, ia menyunggingkan senyuman kecil, sedikit malu. Di tangan kanannya, ia memegang amplop cokelat, sepertinya berisi identitas diri dan berbagai sertifikat kerja sebagai bukti pencapaiannya, berharap aku tertarik merekrutnya. Tapi, aku jelas tahu. Di kantor ini sudah ada HRD yang mengurus semua urusan perekrutan karyawan.
"Maaf, Pak. Nama saya Tari," ucapnya dengan sedikit membungkuk, memberi hormat saat aku mendekat.
"Ada perlu apa kamu menemui saya?" tanyaku dengan dahi berkerut, mataku seolah malas menatapnya.
"Saya ... mau melamar pekerjaan," jawabnya dengan suara hati-hati.
"Maaf, kami sedang tidak butuh karyawan. Kantor ini sudah kebanyakan karyawan. Coba kamu melamar di kantor lain saja," kataku, sambil melangkah menuju pintu ruanganku, mulai memutar kenop pintu.
Namun, ia menghentikanku dengan suara yang sedikit lebih tinggi. "Pak! Maaf, tapi ... Bapak bisa lihat dulu berkas-berkas saya? Saya sudah bawa semua dokumen yang diperlukan. Saya juga bawa portofolio agar Bapak tertarik merekrut saya."
Aku terdiam sejenak, berhenti memutar kenop pintu, menoleh ke arahnya dengan pandangan yang sulit terbaca.
"Tak perlu," jawabku tegas. "Saya tidak butuh karyawan. Kalaupun saya membuka lowongan, HRD yang akan mengurusnya."
Tari tampak ragu sejenak, tapi kemudian dengan tiba-tiba ia meraih ujung kemeja hitamku. Di titik itu, rasa kesalku benar-benar memuncak. Kenapa perempuan keras kepala seperti dia harus ada di sini? Rahangku mengeras, dan aku membalikkan badan untuk menatapnya.
"Saya tidak butuh karyawan!" tegasku, dengan tatapan tajam yang bertujuan mengintimidasi. Tapi ia tetap tidak gentar. Ia bahkan semakin berani, menyodorkan berkas-berkas prestasinya dengan tangan yang sedikit gemetar.
"Kenapa kamu ingin sekali bekerja di sini?" tanyaku, merasa sedikit penasaran meski masih kesal.
"Pak, tolong. Saya sangat butuh pekerjaan. Saya punya alasan kenapa ingin sekali bergabung dengan perusahaan Bapak. Saya punya pengalaman sebagai sekretaris, dan saya bisa diandalkan untuk urusan pencatatan dan pengelolaan jadwal kerja," jawabnya, nada suaranya penuh harap.
Aku terdiam sejenak. Ya, aku tahu setiap orang pasti punya alasan mereka sendiri. Semua orang punya masalah hidup yang tak terungkap. Saat itu, ingatanku kembali ke enam tahun yang lalu. Saat itu, aku hidup hanya dengan mengandalkan hasil parkir kendaraan. Melamar pekerjaan dengan ijazah sekolah menengah yang sudah lusuh, tak ada satu pun perusahaan yang mau menerimaku. Aku bingung, apakah selembar kertas benar-benar menjadi tolok ukur seseorang? Bisakah sepotong kertas itu membuktikan kemampuan seseorang? Apakah memiliki berkas lamaran menjamin kemampuan dan dedikasi?
Aku menatap perempuan di depanku. Matanya yang sendu menyimpan kesedihan mendalam, tapi di sana juga ada pendar harapan yang berkilau di bola matanya yang hitam.