"Pak, ada perempuan yang mau bertemu. Katanya dia mau melamar sebagai sekretaris baru di kantor ini. Saya sudah bilang kalau kita lagi nggak butuh karyawan baru, tapi orangnya keras kepala."
"Ya, ampun! Tidak becus kamu, Lina. Seharusnya kamu bisa meyakinkan dia kalau kita memang tidak butuh karyawan baru! Kalau perlu, panggilkan satpam dan usir dia."
"Tapi, Pak. Orangnya—"
"Ya, sudah. Saya akan temui dia. Di mana dia sekarang?"
"Di ... depan ruangan Bapak."
Aku menatap tajam pada Lina—seorang receptionist di perusahaan yang aku kelola. Dengan sebelah alis yang mengangkat, aku mendengkus kesal. Bagaimana bisa dia bekerja sangat tidak becus? Seharusnya dia dan satpam yang sudah aku gaji bisa bekerjasama dengan baik. Jika ada orang seperti perempuan yang dimaksud, dia dan satpam berkewajiban mengusirnya.
Dengan bergelimang kesal, aku berjalan ke kantorku yang berada di lantai tiga gedung raksasa ini. Perusahaanku memang terdiri dari tiga lantai. Di atas lantai tiga terdapat beberapa perusahaan juga. Ada sekitar tiga ratus karyawan yang bekerja di bawah kepemimpinanku. Ada banyak penyumbang dana yang menghabiskan uang demi membantu perusahaan ini maju dan berkembang.
Sampai di lorong menuju ruang kerja, aku melihat seorang perempuan. Rambutnya lurus terikat rapi sepunggung. Ia mengenakan rok selutut berwarna hitam serta atasan berwarna putih. Ia melihatku yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Dengan sungkan ia menyunggingkan senyuman. Di tangan kanan ia membawa sebuah amplop cokelat. Sepertinya identitas diri dan kumpulan sertifikat kerja sebagai bukti pencapaiannya, agar aku berminat menerimanya sebagai karyawan di perusahaan ini. Tapi, ayolah. Di perusahaan ini, aku punya HRD yang bertugas mengurus perihal sumber daya manusia atau karyawan umum.
“Maaf, Pak. Nama saya ... Tari,” ucapnya sambil sedikit membungkuk memberi hormat atas kedatanganku.
“Ada perlu apa kamu menemui saya?” tanyaku dengan dahi berkerut dan mata yang malas menatapnya.
“Saya ... mau melamar pekerjaan—“
“Maaf, kami sedang tidak butuh karyawan. Kantor ini sudah kebanyakan karyawan. Kamu melamar di kantor lain saja.”
Aku melanjutkan langkah ke pintu, mulai memutar kenop pintu ruangan, tetapi ia menghentikanku dengan sedikit bernada tinggi. “Pak! Maaf, tapi ... Bapak boleh lihat dulu berkas-berkas saya. Saya sudah bawa semua berkas yang diperlukan. Saya juga sudah bawa portofolio agar Bapak tertarik merekrut saya.”
“Tidak perlu. Saya memang tidak butuh karyawan. Kalaupun saya membuka lowongan pekerjaan, saya akan meminta HRD mengurusnya.”
“Pak!” Perempuan bernama Tari itu tiba-tiba saja meraih ujung kemeja hitam yang aku kenakan. Di titik ini, aku benar-benar kesal. Tak habis pikir diriku, mengapa perempuan keras kepala seperti dia ada di dunia ini. Rahangku mulai mengeras, aku membalik badan.
“Saya, tidak, butuh, karyawan!” Aku menegaskan dengan tatapan tajam mengintimidasi. Namun, tetap saja ia tidak gentar. Ia semakin berani menyodorkan berkas-berkas prestasinya. “Kenapa kamu ingin sekali bekerja di sini?”
“Pak, tolong. Saya sedang butuh uang. Saya harus bekerja. Saya punya alasan tersendiri kenapa sangat ingin bergabung dengan perusahaan Bapak. Saya punya pengalaman sebagai sekretaris. Bapak bisa mengandalkan saya untuk urusan yang berkaitan dengan pencatatan dan manajer jadwal kerja.”
Aku bungkam seketika. Ya, aku tahu semua orang punya masalah masing-masing dalam hidup ini. Kita tidak pernah tahu alasan seseorang untuk bekerja, berharap mendapat upah dari pekerjaan yang mereka tekuni. Seketika itu, aku teringat diriku enam tahun yang lalu. Enam tahun lalu saat aku dapat makan dan minum hanya dari hasil parkir kendaraan. Ketika melamar pekerjaan dengan ijazah lusuh tamatan sekolah menengahku, tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima. Aku bingung apakah sebuah kertas menjadi tolok ukur di dunia pekerjaan? Bisakah secarik kertas itu membuktikan kemampuan seseorang? Dan apakah memiliki berkas itu, berarti menjamin kemampuan dan dedikasi seseorang?
Aku menatap lamat-lamat perempuan di hadapanku tersebut. Ia tampak sendu. Kulihat matanya memang menyimpan sebuah kesedihan. Selain itu, ada pendar harapan yang timbul-tenggelam di bola matanya yang hitam.
Aku membalik badan, lalu berkata, “Masuklah.”