“Tari! Ke sini kamu!”
Tari berjalan masuk ke ruanganku yang pintunya sedang terbuka. Aku duduk berhadapan dengan Damar, seorang HRD yang seharusnya mengurus perihal lamaran pekerjaan dan sumber daya manusia di perusahaan ini.
“Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Tari, sopan.
“Kenalkan, dia Damar, HRD di sini. Seharusnya kemarin dia yang mengurus lamaran pekerjaan kamu di sini. Dokumen prestasi memang tidak penting bagi saya, tapi bagaimanapun juga, dokumen kamu akan tetap diarsipkan untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi di masa yang akan datang. Kamu pasti mengerti maksud saya. Silakan berikan dokumen kamu pada Damar.”
“Baik, Pak. Tunggu sebentar, saya akan ambil di meja saya.”
Sementara itu, Damar menatap lamat Tari yang tengah berjalan keluar.
“He, Damar. Ada laporan apa hari ini?”
Seketika itu, Damar terhenyak dan menolehkan pandangannya ke depan sambil mengatur posisinya senyaman mungkin.
“Oh, iya. Maaf, Pak. Iya, ada beberapa karyawan yang kinerjanya mulai menurun.”
“Saya serahkan semuanya padamu. Ingat, kesalahan fatal dalam perusahaan ini adalah jatuh cinta sesama karyawan. Bahkan kamu sekalipun tidak boleh melanggar aturan itu, kecuali kamu memang sudah menikah. Tapi tetap saja, jika istrimu juga bekerja di perusahaan ini, bermesraan adalah hal yang terlarang. Kalau ingin bermesraan, silakan di rumah saja.”
Cukup banyak yang tidak setuju dengan aturan tidak logis yang aku terapkan. Ya, aku tahu hal itu cukup menyebalkan. Namun, jika memang maksud dan tujuan mereka adalah bekerja, maka masalah percintaan seharusnya bukanlah apa-apa.
“Permisi, Pak. Ini dokumen saya.” Tari berdiri di sebelah sofa, lalu memberikan Damar beberapa dokumen penting yang beberapa waktu lalu ia bawa untuk melamar pekerjaan di perusahaan ini.
Damar menerimanya dengan baik dan sopan, lalu membuka beberapa dokumen. Ia membacanya kemudian.
“Tari Fitrianti. Kamu pernah bekerja sebagai sekretaris juga di sebuah perusahaan advertising. Pendidikan terakhir kamu adalah Administrasi Perkantoran, S1. CV-mu bagus menurut saya. Tidak ada masalah.” Damar manggut-manggut sambil memasukkan kembali dokumen-dokumen tersebut ke dalam amplop.
“Damar, bagaimana dengan Rani, sekretaris tidak becus rekomendasi dari kamu? Kenapa dia tidak pernah ada di saat saya butuh?”
“M-maaf, Pak. Rani tidak pernah bisa dihubungi. Terakhir kali ia ngobrol dengan saya, dia bercerita sedang ada masalah keluarga.”
“Pecat dia! Berikan pesangon yang cukup. Saya tidak butuh orang tidak becus.”
Lelaki dengan hidung pesek, serta alis tebal tersebut tampak menelan saliva. Ia mengangguk atas perintahku. “Baik, Pak.”
“Dan kamu, Tari! Karena saya sudah berbaik hati mau menerima kamu di perusahaan saya, kamu tidak boleh mengecewakan saya!”
“I-iya, Pak. S-saya tidak akan mengecewakan Bapak.”
“Bagus kalau kamu sudah mengerti. Sekarang, lakukan tugasmu dengan baik. Kembali ke ruangan. Kamu juga, Damar. Hari ini saya ada pertemuan penting dengan Pak Hartono.”
“Permisi, Pak.”
Tiga detik kemudian, keduanya keluar dari kantorku.
-II-
“Tari! Apa jadwal saya hari ini?”