I am Your Boss

Marion D'rossi
Chapter #3

Tari Fitrianti

“Tari! Ke sini kamu!”

Tari melangkah masuk ke ruanganku yang pintunya terbuka lebar. Aku duduk berhadapan dengan Damar, HRD yang seharusnya mengurus segala hal terkait lamaran pekerjaan dan sumber daya manusia di perusahaan ini.

“Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Tari dengan suara lembut, tampak sangat sopan.

“Kenalkan, dia Damar, HRD di sini. Seharusnya kemarin dia yang mengurus lamaran pekerjaan kamu. Dokumen prestasi memang tidak terlalu penting bagi saya, tapi bagaimanapun juga, dokumen kamu akan tetap diarsipkan untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi di masa yang akan datang. Kamu pasti mengerti maksud saya. Silakan berikan dokumen kamu pada Damar.”

“Baik, Pak. Tunggu sebentar, saya akan ambil di meja saya,” jawab Tari, lalu berjalan menuju meja kerjanya dengan langkah tenang.

Aku menatap Damar sejenak sebelum kembali mengalihkan pandangan ke arah Tari yang sedang keluar.

“Hei, Damar. Ada laporan apa hari ini?” tanyaku dengan suara sedikit lebih tegas, tapi lebih pada keinginan untuk mendengar apa yang terjadi di perusahaan.

Damar terhenyak sedikit, tampaknya baru menyadari aku menanyakan hal tersebut. Ia menolehkan pandangannya ke depan, mencoba menata diri.

“Oh, iya. Maaf, Pak. Iya, ada beberapa karyawan yang kinerjanya mulai menurun,” jawab Damar sambil menyesuaikan posisinya di kursi, mencoba terlihat lebih nyaman.

“Saya serahkan semuanya padamu. Ingat, kesalahan fatal dalam perusahaan ini adalah jatuh cinta sesama karyawan. Bahkan kamu sekalipun tidak boleh melanggar aturan itu, kecuali kamu sudah menikah. Tapi tetap saja, jika istrimu juga bekerja di perusahaan ini, bermesraan adalah hal yang terlarang. Kalau ingin bermesraan, silakan di rumah saja,” kataku dengan nada datar, seakan sudah terbiasa dengan aturan yang ada.

Aku tahu aturan ini cukup kontroversial dan banyak yang tidak setuju. Tapi bagiku, jika memang tujuannya adalah bekerja, masalah percintaan seharusnya tidak mengganggu fokus.

“Permisi, Pak. Ini dokumen saya.” Terdengar suara Tari dari samping. Ia berdiri di sebelah sofa, memegang beberapa dokumen penting.

Damar menerima dokumen-dokumen itu dengan sopan, lalu membuka amplopnya dan mulai memeriksa isinya dengan saksama.

“Tari Fitrianti. Kamu pernah bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan advertising. Pendidikan terakhir kamu Administrasi Perkantoran, S1. CV-mu bagus menurut saya. Tidak ada masalah.” Damar mengomentari dokumen itu sambil mengangguk-angguk, lalu memasukkan kembali semuanya ke dalam amplop dengan rapi.

“Damar, bagaimana dengan Rani, sekretaris yang kamu rekomendasikan itu? Kenapa dia selalu hilang ketika saya butuh?”

Damar terlihat terkejut dengan pertanyaanku, wajahnya tampak agak cemas. Ia menghela napas sejenak sebelum menjawab, “M-maaf, Pak. Rani tidak pernah bisa dihubungi. Terakhir kali ia ngobrol dengan saya, dia bercerita sedang ada masalah keluarga.”

“Pecat dia!” jawabku tegas, tanpa ampun. “Berikan pesangon yang cukup. Saya tidak butuh orang yang tidak becus.”

Damar, lelaki bertubuh tegap, berhidung pesek, dan beralis tebal, menelan saliva dengan berat. Ia hanya bisa mengangguk pasrah. “Baik, Pak.”

Aku menatapnya sejenak, lalu mengalihkan perhatian ke Tari yang berdiri di sebelah meja. “Dan kamu, Tari! Karena saya sudah berbaik hati menerima kamu di perusahaan ini, kamu tidak boleh mengecewakan saya!”

Tari tampak terkejut mendengar kata-kataku, wajahnya pucat seketika. Ia terbata-bata menjawab, “I-iya, Pak. S-saya tidak akan mengecewakan Bapak.”

“Bagus kalau kamu sudah mengerti,” kataku, semakin tegas. “Sekarang, lakukan tugasmu dengan baik. Kembali ke ruangan. Kamu juga, Damar. Hari ini saya ada pertemuan penting dengan Pak Hartono.”

Damar dan Tari saling berpandangan sejenak sebelum mengangguk. “Permisi, Pak.”

Setelah itu, keduanya segera keluar dari ruanganku. Aku menyandarkan tubuh di kursi, menatap ke luar jendela sambil memikirkan langkah-langkah berikutnya.

 

-II-

 

“Tari! Apa jadwal saya hari ini?”

Lihat selengkapnya