“Hei, mau ke mana kamu?” Suaraku terdengar tajam saat melihat Tari hendak keluar dari gedung.
Tari berhenti sejenak dan berbalik. “Saya ... mau makan siang, Pak,” jawabnya dengan nada ragu.
“Ikut saya!” tandasku tegas, tanpa memberi ruang untuk penolakan.
“Tapi, Pak. Saya ... mau makan—”
“Nanti. Kamu harus ikut saya sekarang. Tidak ada bantahan apa pun!” kataku, mengakhiri pembicaraan dengan nada yang tidak memberi pilihan.
Tari mengangguk pelan, dan dengan enggan mengikuti langkahku menuju parkiran di luar gedung.
“Kita mau ke—”
“Berhenti. Jangan bicara lagi. Jangan banyak tanya,” jawabku cepat, melangkah lebih dulu menuju CR-V hitam milikku. “Masuk!”
Tari tidak berkata apa-apa lagi. Dengan cepat, dia masuk ke dalam mobil.
Sebelum jam makan siang tadi, seorang pria bernama Abdi Jaya menghubungiku, meminta bertemu di sebuah restoran hotel bintang lima. Abdi Jaya adalah investor kaya raya dengan pengalaman luas di bidang properti. Seorang pria berusia 40 tahun yang pandai melihat peluang dan memanfaatkan kesempatan di dunia bisnis.
Setibanya di hotel, aku memarkirkan mobil dan keluar, diikuti Tari yang tampak semakin cemas. Atau mungkin kesal karena aku menyeretnya ke tempat ini secara mendadak.
“Pak? K-kita mau ... ngapain di sini?” tanyanya, suaranya agak bergetar.
“Ikut saja. Kita akan bertemu investor penting. Kamu harus menjaga sikap. Saya meminta kamu menemani untuk mencatat poin-poin penting yang akan dipaparkan investor kita terkait pengembangan bisnis ke depannya,” jawabku tanpa banyak menjelaskan.
Aku mematikan mesin mobil dan keluar, berjalan menuju lobi hotel. Setelah bertanya pada resepsionis, kami melangkah menuju restoran mewah di dalam hotel itu, Tari mengikuti di belakangku dengan langkah hati-hati.
Di meja nomor 37, Abdi Jaya sudah menunggu, menikmati minuman sambil sesekali mencicipi makanan yang terhidang. Begitu melihatku, ia tersenyum dan berdiri menyambut kami.
“Selamat siang, Pak Abdi Jaya,” ucapku sambil tersenyum ramah.
Abdi Jaya berdiri dan menjabat tanganku dengan hangat. “Selamat siang, Andra. Wah, Anda semakin terlihat tampan,” pujinya sambil tersenyum ramah. Aku duduk berhadapan dengannya, sementara Tari berdiri di samping, menautkan kedua tangannya di depan.
Abdi Jaya melirik Tari dengan saksama, tatapannya tajam seolah menilai. Tari tersenyum tipis, berusaha menunjukkan rasa hormat terhadap investor tersebut.
“Oh, dia sekretaris saya, Pak,” kataku, memperkenalkan Tari.
“Oh, begitu,” jawab Abdi Jaya, tatapannya berubah, masih menilai Tari dengan lamat. Ia mengangguk perlahan, seakan sedang mengukur kesan pertama.
Aku berdeham untuk mengusir keheningan yang mulai menyelimuti kami. “Jadi, bagaimana dengan rencana Pak Abdi untuk investasi di perusahaan saya?” tanyaku, mencoba mengarahkan percakapan kembali ke topik utama.
Abdi Jaya menolehkan pandangannya padaku. “Oh, oke. Keputusan saya sudah bulat untuk menanam modal di perusahaan kamu, Andra,” ujarnya dengan nada yang tenang.
“Syukurlah. Lalu, bagaimana rencana pengembangannya?” tanyaku, berusaha menunjukkan keseriusan.
“Oh, ayolah, Andra. Jangan terlalu serius begitu. Kamu pesanlah kopi dulu, biar kita bisa berbincang lebih santai,” jawabnya sambil tersenyum santai.
Aku mengangguk, lalu mengacungkan tangan kepada pelayan untuk memesan secangkir kopi.
“Iya, Pak? Anda mau memesan apa?” tanya pelayan dengan ramah.
“Saya pesan kopi saja. Kopi hitam, tidak terlalu manis, dan tidak terlalu pahit,” jawabku.
Pelayan mencatat pesananku. “Ada lagi?”
Aku menoleh ke arah Tari yang masih berdiri setia di belakangku. “Nggak ada, Mbak,” kataku singkat.
Tari menundukkan wajahnya, menghindari tatapanku.
Abdi Jaya tiba-tiba bertanya, “Eh, kamu nggak pesan makanan buat sekretaris kamu?”
“Oh, tidak perlu. Dia sudah makan tadi. Katanya kenyang,” jawabku cepat, meskipun aku tahu itu bisa membuat Tari kesal.
Aku bisa merasakan suasana menjadi agak canggung, tapi mencoba tetap fokus. “Jadi, bagaimana soal pengembangan perusahaan?”
Percakapan kami berlangsung cukup lama, hampir satu setengah jam. Selama itu, Tari tetap berdiri di belakangku, tak pernah kutawarkan duduk. Aku tahu, dia pasti merasa tidak nyaman, tetapi aku tak merasa perlu memberikan perhatian lebih. Setelah pertemuan selesai, kami kembali ke mobil.
Di perjalanan pulang, aku melihat wajah Tari, yang terlihat sangat geram. Sepertinya dia menyimpan kekesalan yang cukup besar terhadapku setelah perlakuanku di restoran.