Hal yang paling aku benci adalah timbulnya rasa penasaran pada urusan orang lain. Tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi dulu ketika aku mengenal Nadia, berawal dari rasa penasaranlah yang membuat perempuan itu menjadikan bahuku sebagai sandaran. Sangat sulit bagiku untuk mengendalikan perasaan ini.
Aku mungkin telah salah ikut campur dengan urusan pribadi Tari, tetapi entah mengapa emosi kerap kali hadir ketika aku tidak berhasil mengetahui sesuatu yang ia tutup dengan rapat dariku. Sebagai manusia, aku tahu perilaku ini sangat tak wajar. Bagi kebanyakan orang, aku bukan manusia. Aku tidak pantas menjadi seorang pemimpin, atasan, atau sesuatu yang mendeskripsikan kepemimpinan itu sendiri. Karena seperti yang semua orang tahu, aku terlalu memaksakan kehendak kepada mereka.
“Tari, saya mau melihat schedule saya beberapa minggu ke depan. Tolong kamu bawakan dokumennya ke ruangan saya.”
Setelah menelepon perempuan itu, ia masuk ke ruanganku sambil membawa secarik kertas.
“Silakan, Pak.” Ia menyodorkan kertas tersebut, dan aku mengambilnya.
Selesai membaca beberapa jadwal yang mengharuskanku untuk melakukan pertemuan, memimpin rapat dan segalanya, aku mengembuskan napas gusar.
“Ada apa, Pak?” tanya Tari.
“Tidak apa-apa. Bawa ini, dan kembalilah ke ruanganmu.”
Tari mengambil kertas di tanganku, lalu ia melangkah pergi. Sementara itu, aku memperhatikan tubuhnya yang perlahan menjauh, menutup pintu dan tak terlihat lagi.
Sejak mengurus perusahaan, aku menjadi orang yang gila kerja. Aku jarang sekali berlibur atau melakukan hal yang seharusnya bisa membuat pikiranku tidak gundah.
Hal biasa yang aku lakukan untuk melampiaskan kegundahan itu adalah kerja lembur. Tidak jarang juga aku tak memperbolehkan beberapa pekerja pulang meskipun jam kerja mereka telah habis.
“Permisi, Pak. Ini beberapa dokumen yang harus Anda tandatangani dalam perjanjian kerjasama dengan mitra.” Setumpuk kertas Tari letakkan di mejaku.
Aku mengambil dan membaca tumpukan paling atas.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak.” Setelah menundukkan wajah, Tari mencoba melangkah pergi.
“Tunggu. Kamu mau ke mana?”
Perempuan tersebut berbalik badan, lalu menjawab, “Pulang, Pak. Ini sudah jam pulang.”
“Saya mau kamu tetap di sini untuk beberapa jam. Kita lembur. Ada beberapa dokumen yang harus kamu kerjakan dan selesaikan hari ini juga.”
“Tapi, Pak. Saya sudah ada janji untuk—“
“Jangan membantah! Lakukan saja apa yang saya perintahkan!” tegasku kemudian sehingga Tari memejamkan kedua mata beberapa detik, lalu mengembuskan napas.
“Baik.”
“Kembali ke ruangan kamu. Akan saya kirimkan dokumennya ke komputer kamu.”
Tak merespons, Tari langsung melangkah pergi.
-II-
Asyifa masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Hal yang selalu membuatku tidak menyukai dia. Sikapnya semena-mena, tidak tahu aturan, dan banyak lagi yang aku tidak suka dari dirinya. Termasuk caranya bersikap pada orang lain yang seolah-olah menganggap dirinya jauh lebih tinggi dan terhormat.
“Sayang. Aku kangeeenn banget sama kamu,” ucapnya seraya bergegas memeluk diriku yang tengah duduk di kursi.
Aku tentu saja menghindari hal tersebut.
“Loh, kenapa? Kok menghindar?”
“Kalau masuk, kamu ketuk pintu dulu. Dan ini bukan kafe atau club. Ini ruang kerja saya. Kantor. Kamu tidak bisa sembarangan memeluk saya atau mencium saya.”
“Oh my God! Ayolah, Sayang. Kamu nggak tahu seberapa rindunya aku sama kamu. Kamu selalu sibuk kerja. Kalau diajakin ketemu, alasannya inilah, itulah. Aku juga butuh kamu,” cecar perempuan berlipstik merah menyala di hadapanku.