“Sayang, suapin aku, dong.”
Suara manja Asyifa terdengar dari seberang meja, tapi aku hanya menatap kosong, sama sekali tak merespons.
“Sayang?” Ia menyipitkan mata, lalu tersenyum kecil. “Kamu kenapa, sih? Hei ....”
Tangannya meraih pipiku, memaksaku menatapnya, tapi aku langsung menepis tangannya tanpa pikir panjang.
“Andra! Apa-apaan, sih, kamu?” Nada suaranya meninggi, menusuk gendang telingaku. “Akhir-akhir ini kamu nggak peduli banget sama aku!”
Aku menghela napas pelan. “Saya tidak apa-apa.”
Asyifa menatapku penuh selidik. Sorot matanya berubah tajam, seolah mencoba membaca pikiranku. “Aku tahu,” katanya pelan, lalu menyeringai. “Kamu sudah kena pelet, ya, sama sekretaris kamu itu?”
Aku mengepalkan tangan di atas meja. “Syifa! Apa-apaan kamu?! Jangan melibatkan orang lain! Bisa-bisanya kamu menuduh Tari, padahal dia tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini!”
“Asal kamu tahu, saya cuma lagi capek,” lanjutku dengan nada lebih datar. “Dan kamu memaksa saya menemui kamu dalam keadaan seperti ini.”
“Oh, jadi kamu menyalahkan aku sekarang?” Asyifa berdiri dengan gerakan mendadak. “Oke, kalau begitu aku akan lapor sama ayahku!”
Aku mendongak, menatapnya tak percaya. “Syifa, jangan bertindak kekanakan.”
Tapi ia tidak peduli. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, mendekatiku dengan tatapan penuh ancaman.
“Awas kamu, Ndra! Ini cuma peringatan. Ayahku pasti akan memanggilmu besok.”
Setelah berkata demikian, ia langsung berbalik pergi, meninggalkan nasi goreng yang baru ia sentuh beberapa suap.
Aku menghela napas panjang, berusaha menekan emosi yang membuncah di dadaku. Tanganku refleks mengepal di atas meja, ingin melampiaskan kemarahan pada apa pun di hadapanku. Namun, aku sadar. Ini tempat umum.
Orang-orang akan menganggapku gila jika aku mengamuk di sini.
Lebih baik aku pulang.
Keesokan harinya, ancaman Asyifa benar-benar menjadi kenyataan.
Baru lima menit aku tiba di kantor, Pak Hartono sudah duduk di sofa ruanganku. Pria berkacamata dengan rambut cepak yang mulai beruban itu tampak santai, berpura-pura membaca koran yang ada di atas meja. Ia membalik halaman demi halaman, seolah sedang menikmati waktu senggangnya.
Sementara itu, aku masih duduk di kursi kerja, diam, menunggunya bicara lebih dulu.
Setelah beberapa saat, tanpa menurunkan korannya, ia bertanya, “Andra, saya dengar kemarin kamu bertengkar dengan Asyifa, ya?”
Aku mengembuskan napas perlahan. Dasar wanita licik. Ia benar-benar melapor pada ayahnya, persis seperti ancamannya semalam.
Aku pun bangkit dan duduk di sofa, tepat di hadapan Pak Hartono.
“Maaf, Pak,” kataku dengan suara terkontrol. “Saya tidak bermaksud seperti itu.”
Pak Hartono akhirnya melipat korannya, menaruhnya di atas meja, lalu menatapku dengan ekspresi serius.
“Andra,” ucapnya pelan, tetapi tajam, “apa kamu masih ingat konsekuensi kalau kamu membuat Asyifa terluka?”
“Iya, saya ingat, Pak.”
“Bagus.” Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Kamu tahu kenapa saya akhirnya memutuskan berinvestasi di perusahaan kamu?”
Aku diam. Tentu saja aku tahu jawabannya, tapi aku memilih membiarkannya melanjutkan.
“Semuanya karena Asyifa,” katanya, menekankan setiap kata dengan jelas. “Pertama kali saya bertemu denganmu, Asyifa ada di sampingmu. Dialah yang memohon agar saya mempertimbangkan proposal kamu.”
Aku menelan ludah. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.
“Iya, Pak. Saya mengerti.”
Aku membuang pandangan ke arah jendela. Bagaimana mungkin aku bisa lupa?
Jika pria tua ini marah, aku dan semua yang telah aku bangun selama enam tahun ini bisa hancur dalam sekejap.
“Jadi, ini sebenarnya cuma peringatan buat kamu, Andra. Saya sangat percaya kamu bisa menjaga hati Asyifa.”
Pak Hartono menaruh korannya di atas meja, lalu bangkit dari sofa. Pandangannya menembus jendela, seolah memikirkan sesuatu yang jauh di luar sana.
“Dia memang anak yang manja sejak kecil,” lanjutnya, suaranya lebih tenang, “tapi kamu harus percaya kalau sebenarnya dia sangat baik.”
Aku hanya mengangguk kecil. Tidak ada gunanya membantah atau mencoba melawan pendapatnya. Aku sudah terbiasa. Biarkan saja. Aku masih bisa menahan diri.