“Saya butuh gaji saya bulan ini, Pak.”
Permintaan Tari terdengar lirih dan tegas secara bersamaan. Aku menatapnya tajam, mencoba mencari tahu alasan di balik kata-katanya.
“Gaji?” ulangku dengan nada heran. “Tanggal gajianmu masih lama, Tari. Lagi pula, seminggu yang lalu kami sudah mentransfer gaji ke rekeningmu. Kenapa sekarang kamu meminta gaji lagi sebelum waktunya?”
Tari duduk diam di kursi, bahunya tampak sedikit gemetar. Ia memijat pelipisnya, sementara keringat kecil mulai muncul di dahinya.
“Iya, saya tahu, Pak. Tapi … saya butuh uang,” ucapnya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.
Aku menyipitkan mata, memperhatikan ekspresi wajahnya yang tampak tegang. “Uang untuk apa?” tanyaku, mencoba mencari celah di balik sikapnya yang tiba-tiba mendesak.
Tari menghela napas, lalu menatapku sejenak sebelum kembali menunduk. “Bapak tidak perlu tahu. Saya hanya ingin mengambil gaji saya lebih cepat karena saya sangat butuh. Saya janji akan bekerja lebih baik lagi,” katanya, penuh harap.
Aku tertawa sinis, lalu bersandar di kursi dengan tangan terlipat di dada. “Tidak bisa!” ucapku dengan suara yang menyentak.
Tari terkejut. Matanya berkedip beberapa kali, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kinerja kamu bulan lalu saja sudah menurun, Tari. Bagaimana saya bisa percaya dengan janji kosong seperti itu?” Aku mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya lebih dalam. “Ketika seseorang berjanji saat dia butuh sesuatu, keesokan harinya, setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka pasti akan melupakan janjinya. Saya yakin kamu termasuk salah satu dari orang-orang seperti itu.”
Sejenak Tari terdiam. Namun, matanya yang awalnya redup kini berubah tajam. Ada amarah yang tersirat di sana.
“Tolong, Pak,” katanya dengan nada rendah, tetapi penuh ketegasan. “Berhenti menilai saya. Hanya saya yang tahu siapa diri saya sebenarnya. Bapak tidak berhak untuk itu.”
Aku membuka mulut hendak membalas, tetapi Tari sudah lebih dulu berdiri.
“Jika Bapak tidak berkenan memberikan gaji saya lebih awal, ya, sudah.” Ia menatapku lurus, tajam seperti belati. “Saya tidak memaksa.”
Suaranya terdengar bergetar, tetapi bukan karena takut—melainkan karena amarah yang ia tahan. Ia lalu melanjutkan, suaranya lebih pelan, tapi menusuk.
“Ingat, Pak. Anda memang bos. Anda memang pemilik perusahaan ini. Tapi Anda bukan Tuhan yang pantas menilai orang lain.”
Aku terpaku.
Sebelum aku sempat merespons, Tari sudah lebih dulu melangkah keluar, menutup pintu ruanganku dengan sedikit keras.
Aku bersandar ke kursi, mengembuskan napas berat.
Ini bukan kali pertama Tari berani melawan. Ia karyawan paling berani yang pernah bekerja di perusahaan ini. Tak ada yang seberani dirinya. Bahkan, untuk sekadar meminta kasbon pun karyawan lain pasti berpikir dua kali. Namun, Tari?
Aku mulai bertanya-tanya, terbuat dari apa sebenarnya hati perempuan itu? Kenapa dia begitu berbeda? Kenapa dia tak sedikit pun takut dipecat?
Dan kenapa aku justru semakin penasaran dengannya?
Aku bersandar di kursi, menatap kosong ke arah tumpukan berkas di mejaku. Dalam beberapa bulan terakhir, sekitar tiga puluh orang memilih hengkang dari perusahaan ini. Mereka menyerah, tak tahan dengan sikapku yang dianggap terlalu keras. Namun, Tari?
Ia bertahan lebih dari tiga bulan. Satu-satunya yang masih berdiri tegak di bawah tekananku.
Ia tahu betul hal-hal yang bisa membuatku marah. Namun, entah karena teledor atau memang sengaja, ia tetap saja melakukan kesalahan-kesalahan yang memicu emosiku.
Aku mengembuskan napas panjang, berusaha meredam amarah yang mulai membuncah di dadaku.
Aku meletakkan amplop cokelat berisi gaji yang diminta Tari di mejanya. Tanpa banyak bicara, aku melangkah menuju pintu, berniat segera meninggalkan ruangan.
Namun, sebelum aku sempat menghilang dari pandangannya, suara lembutnya memanggil.
"Pak!"
Aku berhenti dan menoleh. Tari telah berdiri, menatapku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
"Terima kasih banyak, Pak," ucapnya lirih, tapi penuh ketulusan.
Senyum itu—senyum yang jarang sekali ia tunjukkan—muncul di wajahnya. Ada keharuan di sana. Untuk pertama kalinya, aku merasa aneh. Ada sesuatu dalam diriku yang bergetar. Dadaku terasa sesak, seolah napas menjadi lebih berat. Jantungku berdetak lebih cepat, dan entah kenapa, aku senang melihat ekspresi itu di wajahnya.
Tapi aku hanya mengangguk singkat, menekan gejolak aneh yang mulai menyeruak di benakku. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku melangkah pergi, kembali ke ruanganku.
Satu hal yang selalu kuhindari dalam hidup ini adalah memberi simpati berlebihan kepada siapa pun. Aku percaya bahwa simpati adalah awal dari kehancuran. Dari sanalah manusia mulai melebur dalam emosi yang bisa menghancurkan dirinya sendiri.
Aku pernah mengalaminya.
Dulu, aku mencintai seseorang dengan segenap hati, memberikan segalanya tanpa ragu. Dia selalu mengucapkan kata-kata manis, janji-janji kesetiaan yang seharusnya bisa menenangkan hatiku. Tapi pada akhirnya, semua itu tak lebih dari kebohongan belaka.
Cinta itu runtuh.
Kini, yang tersisa hanyalah kebencian yang tak bertepi.
Dan aku tak ingin mengalami hal yang sama lagi.
Malam ini, aku masih berkutat dengan laptop di meja kerja. Lembur lagi—bukan hanya aku, tapi juga Tari. Ini sudah kesekian kali aku memaksanya bekerja hingga larut. Beberapa minggu terakhir, perusahaan sedang mengalami lonjakan klien dan investor. Namun, di saat bersamaan, kompetitor terus berusaha menjatuhkan bisnis yang kubangun dengan segala cara, termasuk yang paling kotor sekalipun. Mengelola perusahaan bukan hanya tentang membuatnya berkembang, tapi juga bertahan dari serangan, baik dari dalam maupun luar.