Pagi itu, Dea merasakan tubuhnya sangat lemas untuk berangkat ke kampus. Meski matanya lengket tak mau dibuka seutuhnya, tapi mau gak mau badan harus segera disana. Deadline artikel yang harus diserahkan saat itu juga membuat ia harus rela mengorbankan jatah tidur malamnya. Sudah tiga hari berturut-turut Dea hanya tidur 3 jam dalam sehari, itu semua ia lakukan tidak lain selain dari kata “deadline.”
Beberapa kali redaktur koran tempat ia bekerja berusaha menghubungi, karena sebenarnya Dea sudah sangat terlambat mengirimkan artikel. Ini adalah teguran kali ketiga yang ia peroleh, tapi bukan Dea namanya kalau tak bisa menyelesaikan tugasnya meski dalam keadaan kepepet. Menjadi tumbuh karena ditekan, keajaiban inilah yang selalu dirasakan dalam hidupnya.
Dea menyabet baju kemarin yang masih tergantung di belakang pintu kamarnya, hari itu tak ada satupun pakaian nya yang sudah disetrika, ia bahkan tak sempat sarapan walau hanya sekedar mengunyah roti kering. Dea terseok-seok saat melihat jam yang melingkar ditangannya, dia sudah hampir telat. Bukan hampir, tapi sudah. Dengan terburu-buru diraihnya semua berkas yang sudah disiapkan tadi malam, lalu segera berlari keluar kamar dengan jilbab seperti di terjang badai, miring ke kanan dan ke kiri plus panjang sebelah.
“Dee, sepatu kamu lain sebelah, gimana sih?” Suara ibu kos nyaring dari arah jendela. Ibu kos yang cerewet diam diam mengekori pergerakan Dea yang tampak kocar-kacir, termasuk segala sesuatu yang melekat dibadannya.
Gadis itu mengecek ke dua kakinya, ia langsung mengerjap panik. Dea yang sudah keluar pagar langsung menghampiri rak sepatu tepat di depan pintu rumah kos. Pansusnya yang satu lagi terselip dibalik rak. Jeli matanya menyorot, tertimpah pula sehingga agak sulit untuk dijamah. Ia menarik nafas, tapi bukan untuk bernafas. Tarikan itu adalan kiasan keluhan.
“Jangan gerusah-gerusuh, dirapikan lagi. Nanti temen-mu mengalami hal yang sama, pakai sepatu sebelah-belah.” Lagi ibu kos menegur sambil berdiri di depan pintu. Ia meletakkan kedua tangannya di pinggang dengan bermuka masam.
Dea yang sudah mendapatkan pansusnya yang sempat tertukar hanya meringis sambil menyipitkan satu kelopak matanya. Setelah itu ia segera berlari lagi meninggalkan kosan tanpa basa-basi.
Di kota Medan naik angkot sama seperti naik roll coaster, intinya membuat jantungan dan bikin galau. Panas dan macet menjadi pelengkap hidup di kota metropolitan. Budaya orang Medan memang ramah dan sangat bersahabat, tapi kalau urusan berkendara di jalan, jangan ditanya. Banyak diantara mereka yang suka main tunggal, jalan bak milik nenek moyang mereka, terutama angkot. Disana melatih sabar bisa diaplikasikan dengan cara berkendara di jalan. Coba saja kalau tidak percaya.
Menghabiskan waktu selama 20 menit di dalam angkot akhirnya Dea sampai juga di gerbang kampus. Ia turun dengan perut sedikit mual. Untuk sampai ke gedung bahasa gadis itu harus berjalan selama lima menit lagi. Di pertengahan perjalanan, ia melihat Ruri yang sedang riwa-riwi di depan kantor direktorat. Namun Dea membiarkannya dan terus berjalan tanpa menoleh.
“Dea, mo kemana? Pagi-pagi gini udah dikampus aja. Tumbeeeeeen.” Tiba-tiba Ruri memanggil dari arah belakang. Ia berlari kecil menghampiri Dea dengan membawa tas tenteng mini yang tampak isinya dokumen penting.
Dea yang saat itu tidak punya banyak waktu terpaksa membalikkan badan sambil membuang nafas yang panjang.
“Aku buru-buru. Ada apa ? to the point.!” Kilah Dea yang menampakkan wajah badmood nya.
“Ih jutek kali kau, tadi kutanya mo kemana?”
“Ke gedung bahasa, ada urusan, udah ya…!” Dea membalikkan badannya dan kembali tangannya ditarik Ruri. “Aku mau melanjutkan S2 ke UI, minggu depan aku sudah harus ke Jakarta.
Seketika itu Dea yang terkenal jutek nyaris membisu, perasaannya campur aduk. Harus bahagia atau sedih. Bahagia karena Ruri yang dikenal anak orang kaya tapi malas belajar akhirnya bisa menyelaraskan antara uang dengan minat belajar yang meningkat. Orang Medan bilang hepeng mangatur nagaraon. Kalau ada uang semua rencana berjalan lancar. Begitulah kira kira maknanya.
Sedih, karena sebenarnya studi master adalah impiannya, apalagi ke Jakarta. Ia belum pernah sampai di tanah ibu kota. Tapi untuk kesana dan untuk melanjutkan S2 harus punya biaya, yang saat itu jelas tak mendukungnya. Dea harus belajar dan meluangkan waktu mengejar beasiswa, lain halnya Ruri yang bisa kemana saja karena ekonomi keluarga yang terbilang mewah.
“Enak sekali jadi Ruri.” Hatinya berceloteh, tapi bukan mengumpat.
“Jadi aku mau belajar psikotes matematika sama kau, kau kan jago matematika. Aku ke kos mu nanti siang gimana?” Pinta Ruri pada Dea.
“Nanti aku kabari kalau aku bisa, aku mau ke gedung bahasa sekarang.”
“Ngapain kesana?” Tanya Ruri sekali lagi penasaran.
“Ah, pokoknya ada urusan lah.” Dea tak mau cerita apa adanya. Ia langsung meninggalkan Ruri dan berjalan tanpa menoleh. Langkahnya memburu waktu yang jelas sudah terlambat. Ada perasaan minder tapi ia meyakinkan diri ia bisa, ia mampu untuk meraih cita-cita yang jika dibayangkan seperti bayang-bayang. Dikejar tapi terlihat ambyar.
Ruri yang saat itu melihat Dea berlari-lari menuju gedung bahasa sebenarnya sedang menyimpan tanda tanya. Apakah Dea lulus beasiswa pelatihan itu? ia tak sempat menanyakan nya pada Dea. Ia juga lupa mengucapkan kata selamat kepada Ruri, padahal Dea adalah orang pertama yang dikabarinya tentang rencananya itu. Ruri kembali melangkah ke gedung rektorat menyiapkan seluruh berkas yang ia perlukan untuk di bawa ke Jakarta.
Sampai juga akhirnya di gedung bahasa. Ia mematung menatap selembar kertas yang tertancap di mading berwarna hijau. Dea mengamati nama demi nama yang terpampang. Dan ternyata namanya ada di urutan ke tiga sebagai mahasiswa yang lolos seleksi beawasiswa pelatihan itu. Bukan main senang nya, ternyata kali ini Dea sedang tidak bermimpi. Beasiswa pelatihan itu meliputi penguasaan bahasa sampai level intermediate, atau skala lancar untuk berinteraksi dengan orang-orang di Perancis. Mempelajari budaya dan memperluas wawasan tentang studi master di Eropa.
Ada tujuh orang yang lulus, berasal dari fakultas yang berbeda-beda salah satu nya Dea. Ia teringat Ruri, namanya tak tertulis disana. Berarti ia tak akan sekelas dengannya. Gadis muda manja yang sangat beruntung. Terlintas kembali dari dalam kepalanya.