Satu Minggu kemudian.
Di sebuah kamar yang luasnya hanya tiga kali empat, ditemani secangkir kopi kemasan yang dibelinya di kedai sebelah, Dea duduk di atas lantai, berpangku meja dengan laptop yang tengah menyala.
Malam yang semakin larut membuat ia berkali kali menyuruput kopi yang tinggal setengah lagi. Pandangan nya fokus ke sebuah tulisan di laptopnya. Ada deadline yang harus dikejar dan wajib siap besok pagi.
Kalau kebanyakan mahasiswa kehidupannya seperti kupu-kupu, berbeda dengan Dea. Dia bukan tipe yang datang ke kampus, duduk diam lalu pulang. Dea memang bukan anak yang aktiv berorganisasi di kampusnya, karakternya yang introvert membuat dia kurang menyukai keramaian. Menurutnya ramai menjadikan tak produktiv. Keasikan ngobrol ketawa hahaha hihihi sehingga lupa apa yang mau dikerjakan. Karena memang berkumpul dengan teman teman adalah kebahagiaan terhakiki bagi mereka yang tidak memiliki banyak kesibukan.
Selama tiga tahun menjadi mahasiswa Dea juga berprofesi sebagai penulis yang di kontrak oleh perusahaan penerbitan koran di kota Medan. Pemikirannya yang pedas dan kritis terhadap kebijakan kebijakan pemerintah membuat tangannya selalu gatal, berkicau di media sosial miliknya. Sehingga pada akhirnya seorang editor koran pernah menemukan tulisannya yang membahas tentang maraknya perusahaan yang mengkomersilkan hutan dan berujung pembinasaan ekosistem menjadi viral di kala itu. Bertepatan pula sedang marak maraknya kasus pembakaran hutan di Indonesia. Dea bertugas menjadi penulis tetap yang artikel opini nya diterbitkan dua kali dalam seminggu di koran rubrik opini dan lingkungan.
Banyak orang angkat suara kalau Dea itu salju, alias salah jurusan. Kuliah ekonomi tapi jago nya nulis, hobinya nulis. Lebih baik ngambil sastra. Kira kira demikian bunyi kicauan mereka. Dea yang saat itu mendengarnya tak pernah ambil pusing, baginya kemampuan menulis bisa dijadikan addition value tersendiri untuknya, atau nilai tambah yang menjual sehingga ia bisa terus berkarya. Lagian menjadi mahasiswa yang setiap bulannya mendapat jatah subsidi orang tua membuat ia tak sampai hati menggunakan uang itu dipakai jajan sembarangan. Job itu diambilnya untuk tambah tambah uang saku, cukuplah sedikit membantu biaya hidupnya diperantauan. Hitung hitung sambil nambah pengalaman, menyibukkan diri agar tetap produktiv.
Saat sedang asik menulis di pragaraf pertama. Handphone nya berdering pendek. Rupanya sebuah SMS masuk ke ponsel nya. Ia tak langsung membaca dan tetap terus melanjutkan paragraf kedua.
Handphone nya berdering sekali lagi, nampaknya penting. Namun Dea tetap tak bergeming, ia tak mau diganggu konsentrasinya. Lalu untuk ketiga kalinya handphone nya kembali berdering, tapi bukan nada SMS seperti sebelumnya. Seseorang telah menelponnya.
Dea mengalihkan dua bola matanya yang tadinya lengket di layar laptop pindah ke layar ponsel miliknya. Disana tertera nomor asing yang tak bernama. Tangannya langsung mengerjap ponsel dan menjawab panggilan dengan nada ragu.
"Halo...."