I AM

Becky Tyler
Chapter #2

#2. Mencari Kebenaran

Rasa duka masih menyelimutiku hingga keesokan harinya, membuatku memutuskan tidak pergi bersekolah hari ini. Aku masih mengurung diri di kamar sejak kemarin, dan itu membuat Kak Rio khawatir dengan keadaanku. Kak Rio masuk ke dalam kamarku setelah mendapatkan izin dariku. Dengan setelan baju kerjanya, dia duduk di sisi ranjang. Tangan kekarnya mengusap pelan pucuk kepalaku.

“Kakak tahu ini pasti menyakitkan bagimu, kehilangan seorang sahabat yang biasanya selalu bersamamu,”

Aku memeluk tubuh Kak Rio erat. Perkataannya membuatku kembali teringat Fira, dan itu membuat dadaku sesak. Aku bisa merasakan Kak Rio membalas pelukkanku lebih erat.

“Ikhlaskan, Dek. Ini sudah takdirnya,”

“Seharusnya Fira nggak meninggal, Kak,” aku melepaskan pelukkan di antara kami. Kak Rio tampak kebingungan mendengar ucapanku.

“Maksud kamu?”

“Fira meninggal bukan karna overdosis, melainkan ada yang membunuhnya.” Jawabku dengan nada sungguh-sungguh. “Banyak hal yang janggal dikematiannya, Kak,”

Raut wajah Kak Rio menunjukkan ekspresi terkejutnya mendengar perkataanku.

Aku menganggukkan kepala mantap. “Yang membunuhnya adalah Cindy,”

“Kamu memiliki bukti atas tuduhan padanya, Dek?”

“Aku nggak punya bukti apapun. Tapi, Fira pernah berpesan padaku, jika ada sesuatu hal yang buruk padanya pasti pelakunya adalah Cindy.”

“Kamu nggak bisa menuduhnya tanpa bukti, Alsya,”

“Cindy pernah mengancam ingin membunuh Fira tapi, Kak. Cindy mengatakan hal itu di siang hari, di sekolah. Lalu, malam harinya Fira meninggal terbunuh.”

“Tidak semudah itu, Alsya. Kita harus mengumpulkan banyak-banyak bukti jika ingin menuduh seseorang. Apalagi sampai mau melaporkan ke polisi,”

“Oh, ya! Kak Rio punya teman yang bekerja di kepolisian, kan?”

“Ada. Memangnya kenapa?”

“Panggil dia, Kak. Aku butuh bantuannya untuk mengusut kematian Fira yang sebenarnya.”

Kak Rio menatapku ragu. Sepertinya dia tidak yakin sepenuhnya akan perkataanku, hingga pada akhirnya dia menghubungi temannya itu yang bekerja di kepolisian.

“Dia akan kemari setelah jam makan siang,” kata kakakku yang baru saja memutuskan panggilan telfon dengan temannya itu

Aku mengangguk mengerti. Aku sungguh tidak sabar menunggu kedatangannya yang akan tiba sekitar dua sampai tiga jam lagi.

**

Mungkin sekarang aku terlihat seperti orang bodoh yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Aku mengenakan kacamata hitam di dalam rumah, guna menutup kedua mata sembab akibat menangis semalaman. Aku duduk didampingi Kak Rio. Kak Rio menunda pekerjaannya demi bisa mendampingiku bertemu dengan temannya yang bekerja di kepolisian.

Suara dehaman dari laki-laki yang duduk di depanku, membuat lamunanku buyar dalam seketika. Dia memperhatikanku dengan tatapan aneh, seakan jijik melihatku. Begitu pun denganku yang memperhatikannya yang datang tanpa menggunakan seragam ciri khas polisi. Nama laki-laki itu Bara, dia bekerja sebagai detektif yang suka mengusut sebuah kasus untuk kepolisian. Bara terlihat seumuran dengan Kak Rio, tapi dia tidak mau aku memanggilnya dengan sebutan ‘Kakak’. Cukup panggil namanya saja katanya.

Kami bertiga sama-sama diam, tidak ada yang memulai pembicaraan. Dengan wajah datarnya Bara menatapku menyelidik. Mungkin ini menjadi salah satu cara seorang detektif bekerja.

“Tolong ceritakan apa yang terjadi pada malam itu?” Katanya, suaranya begitu tenang, namun tidak dengan tatapan matanya.

Aku menghela nafas berat sebelum menjawab pertanyaannya, karna menceritakan kejadian itu akan membuatku ikut terluka.

“Malam itu aku berencana ingin menginap di rumahnya. Kami menonton film di kamar tidurnya yang berada di lantai 2. Ditengah-tengah film berputar, aku harus turun ke lantai bawah untuk mengambil pesanan kami yang diantar oleh ojek online. Tapi ojek onlinenya nggak kunjung datang, padahal aku sudah menunggu kurang lebih 15 menit,”

Aku terdiam dalam beberapa saat. Rasanya tidak sanggup untuk lanjut bercerita. Namun aku harus melanjutkannya agar bisa menemukan kebenaran atas kasus kematiannya Fira.

“Aku memutuskan kembali ke lantai atas untuk meminta kejelasan dimana posisi si ojek pada Fira, karna kami memesannya lewat ponselnya. Tapi, aku malah melihat Fira tergeletak di lantai tidak sadarkan diri.”

Bara mengeluarkan selembar kertas dari map coklat yang ia bawa. Aku bisa melihat logo rumah sakit di ujung map coklatnya. “Di kertas ini sudah jelas bahwa temanmu itu meninggal karna overdosis. Terus, apa yang membuat kamu mencurigai kematiannya?”

“Saat kejadian, ranjang Fira terlihat sangat berantakkan sekali,”

Bara mentertawaiku, dia meremehkanku. Sialan.

“Karna hanya keadaan ranjang berantakkan, kamu jadi mencurigai kalau kematiannya itu dibunuh?”

“Keadaan ranjang tidak seberantakkan itu ketika aku meninggalkannya ke lantai bawah.”  Kataku sungguh-sungguh.

“Begini saja,” Kak Rio membuka suaranya. “Adakah orang-orang yang kamu curigai atas kematian Fira?”

Aku melirik Kak Rio dan menganggukkan kepala mantap. “Ada.”

***

Ternyata mengusut kematian seseorang bukanlah hal yang mudah. Walau aku sudah memiliki daftar orang-orang yang aku curigai, namun aku tidak memiliki satu bukti pun untuk menyeret mereka ke penjara. Bahkan, orang-orang masih tidak percaya padaku jika Fira meninggal dikarenakan dibunuh, bukan karna overdosis.

Bara memberikan waktu seminggu untuk aku mencari bukti bahwa Fira dibunuh. Dia tidak mau membantuku jika aku tidak bisa menunjukkan bukti. Katanya, hukum tidak bisa berjalan jika tidak ada bukti. Maka, mau tidak mau, aku harus bergerak sendiri mencari bukti

Sesuai apa yang aku katakan tadi, aku akan memulai pencarian bukti dari orang pertama yang paling aku curigai.

“Mungkin Cindy benci banget sama gue. Gue yakin, sih, dia bakal jadi orang pertama yang pasti pingin lihat gue lenyap dari muka bumi ini. “

Cindy Aulia. Salah satu murid hitz di SMA Cakrawala yang kebetulan satu kelas denganku dan Fira. Sedari dulu, Cindy dan Fira tidak pernah akur. Mereka selalu saja bertengkar tentang apapun. Bahkan sangkin bencinya, Cindy pernah bersumpah ingin membunuh Fira di depan banyak orang. Maka dari itu, aku memasukkan nama Cindy sebagai salah satu orang yang aku curigai atas kematian Fira.

Aku termasuk dari puluhan siswa yang berkumpul di kantin sekolah untuk mengisi perut. Aku duduk sendiri di kursi sembari ditemani segelas es teh manis di meja. Senyumku muncul ketika melihat Cindy bersama teman-temannya baru saja datang ke area kantin. Raut wajahnya begitu bahagia.

“Heh! Minggir! Ini meja dan kursi gue!”

Suara nyaring milik Cindy menggema di area kantin. Dia dan teman-temannya mengusir salah seorang siswa yang menempati meja. Meja itu sudah dihak miliki oleh mereka, jadi siapapun tidak boleh menempati meja itu kecuali Cindy and the genk.

Semenjak kematian Fira beberapa hari yang lalu, Cindy semakin bersikap semena-mena kepada siapapun. Karna, biasanya dulu, Fira selalu saja mengusik Cindy yang mengakibatkan mereka bertengkar hebat. Jadi, tentu saja Cindy bahagia ketika mendengar kabar kematian Fira, karna dengan kematian sahabatku dia tidak lagi memiliki penghalang.

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku agak kebingungan mencari bukti-bukti tanpa pendamping. Aku melakukan ini semua dengan hanya modal nekat. Tentu saja nekat, lagi pula mana ada anak perempuan berusia 18 tahun mengusut kematian sahabatnya seorang diri? Kurasa tidak ada. Biasanya, usia 20 tahun kebawah masih sering dianggap sebelah mata oleh orang dewasa. Mereka tidak mau mendengarkan kita dan menganggap remeh.

Aku beranjak dari duduk, ingin pergi dari area kantin. Namun Cindy menteriaki namaku dan memintaku berhenti. Wajah menyebalkannya langsung kudapati ketika dia bangkit dari dudukknya dan menghadapiku.

“Lo pasti sedih sekali, ya, atas kematian sahabat berandalan lo itu?” Cindy mengembangkan senyum liciknya diterakhir kalimat yang ia ucapkan. “Udahlah, Al. Ikhlasin saja orang sepertinya mati. Lumayan, sampah masyarakat menjadi berkurang karna kematiannya,”

Dadaku terasa sesak melihat orang-orang di sekitar ikut tertawa mendengar ejekkan Cindy yang keterlaluan. Bagaimana ia bisa mengejek seseorang yang sudah meninggal? Cindy memang tidak punya hati.

“Apa dia takut dengan ancaman gue sampai-sampai memakai obat-obatannya melebihi dosis? Cih, pengecut!”

Semua orang sudah tahu berita kematian Fira yang terkesan mendadak. Satu sekolah gempar ketika mengetahui Fira meninggal dikarenakan overdosis obat-obatan terlarang. Bukannya turut berduka, mereka malah berbondong-bondong menggosipi kematian Fira yang dinilai tak wajar.

“Bagaimana bila kematian Fira itu adalah wujud nyata dari ancaman lo?” Tanyaku menyidir, sekaligus memancing-memancing Cindy untuk membuka suara tentang kematian Fira.

“Maksud lo apa?”

Aku tersenyum kecil, “apa perlu aku jelaskan di sini? Di depan orang banyak? Kamu yakin Cindy?”

“Bicara yang jelas Alsya!”

Lihat selengkapnya