Langit sudah berwarna biru tua kehitaman, bulan juga sudah bersinar di atas sana. Aku berjalan santai memasuki perkarangan rumahku yang tampak sepi-sepi saja. Maklum, aku hanya tinggal berdua saja dengan kakakku, Kak Rio. Jadi, jika salah satu kami tidak berada di rumah, maka suasana rumah sangat terasa sepi.
Langkah kakiku mendadak berhenti, mataku juga menyipit. Aku mendapati mobil hijau terpakir di perkarangan rumahku. Aku tahu betul siapa pemilik mobil tersebut. Dia pasti adalah Bara. Laki-laki itu kemari karna merasa bersalah padaku atas kejadian di depan rumah Fira tadi. Dan sekarang, dia pasti ingin menemuiku untuk meminta maaf. Tidak, jangan berharap aku akan memaafkannya. Aku sudah terlanjur kecewa dan kesal padanya.
Aku memilih masuk ke dalam rumah melewati pintu belakang yang terhubung ke dapur. Perlahan-lahan aku membuka pintu belakang agar tidak menimbulkan suara agar Kak Rio dan Bara tidak sadar akan kedatanganku.
“Dari mana saja?”
Aku spontan berteriak kaget ketika mendapati Bara yang bersandar di dinding area dapur sembari menatapku dengan sorot mata datar. Tidak lama kemudian, Kak Rio datang sembari terkekeh. Biar kutebak, mereka pasti sudah bersekongkol untuk mengejutkanku.
“Kamu buat saya dan kakakmu panik tahu!” Lanjut Bara yang membuatku semakin sebal dengannya.
“Tidak perlu tahu aku dari mana. Seharusnya gunakan saja alat canggih detektifmu itu untuk melacak keberadaanku.” Sarkasku seraya meninggalkan area dapur menuju loteng. Aku menaiki tangga kecil lebih jika ingin ke lonteng, tempat dimana aku sering menyendiri.
Tangan kananku menekan saklar lampu, seketika area loteng terang-menerang. Tumpuk-tumpukkan kardus yang mulai tertutupi debu hampir memenuhi sudut loteng. Aku duduk di sofa tua yang memang sengaja di letakkan di atas loteng oleh Kak Rio. Kepalaku bergerak mendengar suara derapan kaki yang menaiki tangga menuju loteng. Mataku berputar malas melihat orang yang datang menghampiriku. Tanpa izin orang itu duduk di sofa, tepat di sebelahku.
“Kamu kesal dengan saya?”
Aku meliriknya sebentar, lalu membuang wajahku. Aku sungguh enggan menjawab pertanyaannya.
“Saya tahu, kok, kamu dari mana saja tadi. Dari makam Fira, kan? Saya melacak keberadaanmu tadi, sesuai apa yang kamu katakan di dapur. Malah, saya melakukannya sebelum kamu menyuruh,”
Aku masih terdiam tanpa ada rasa keinginan merespon apa yang dikatakan Bara. Sedangkan dia terus-menerus mencari topik agar aku mau berbicara dengannya.
“Al, saya meminta kamu untuk lebih banyak bersabar lagi, karna mau tak mau kita harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Kita tidak bisa mengusut apapun tanpa bukti dan keterangan saksi mata atau pun keterangan tersangka. Tanpa itu semua, kita buntu, Alsya. Kita tidak bisa mengusutnya.”
“Aku hanya ingin mencari kebenaran atas kematian sahabatku. Fira tidak pantas mati dengan cara seperti ini. Tidak peduli seberandalan apa dia, tapi dia tidak pantas diperlakukan seperti ini.”
Pundakku terguncang, aku terisak hebat mengingat kematian Fira yang tidak wajar itu. Sungguh aku tidak menyangka jika dia akan pergi dengan cara seperti ini. Aku merasakan tubuhku didekap oleh Bara seraya sesekali mengusap kepalaku pelan berniat untuk menenangkan.
“Saya mengerti apa yang kamu rasakan saat ini. Kehilangan orang yang berarti bagi hidup kita memang bukanlah hal mudah. Apalagi, mereka pergi tanpa pamit, tapi kita harus mengikhlaskan semuanya, Alsya.”
Kalimat yang Bara ucapkan begitu menenangkan. Perlahan isak tangisku berhenti, namun Bara masih saja memelukku erat seakan enggan melepaskan. Sebenarnya aku tidak terlalu keberatan jika Bara ingin memelukku lama-lama, tapi riwayat hidupku dengan Bara akan habis malam ini juga kalau Kak Rio melihatnya. Maka dari itu, aku segera mengakhiri pelukkan kami. Mataku membelalak ketika tangan Bara membantu menyeka air mataku yang membasahi pipi. Dia menyekanya penuh kelembutan dan kehati-hatian, membuatku terperangah.
“Sudah jangan menangis lagi. Kuatkan diri kamu untuk menghadapi segala tantangan hidup yang kadang di luar nalar.”