Seorang cowok muncul dari balik pintu dengan seragam kusut serta rambut yang terkesan berantakan. Tasnya di letakan asal di atas sofa. Bagi seorang Karellio Ardeon, tak ada yang namanya kata rapi akan segala hal, selalu berantakan. Lagian dirinya masih bisa hidup dengan segalanya tanpa mengenal istilah tersebut.
Dari arah dapur seorang wanita berumur 40 tahun-an mendekat lantas tersenyum lembut. Ia membawa nampan berisi segelas air lalu segera mendekat sambil menyodorkan tangannya.
"Kamu udah pulang Karel."
Karel mengangguk lesuh, lalu meminum air tersebut sampai habis. "Yaudah sekarang kamu ganti baju, terus makan ibu udah buatin makanan kesukaan kamu."
"Ya, Bu."
Dengan langkah gontai cowok itu memasuki area kamar yang terletak di lantai atas. Hanya membutuhkan beberapa saat untuk memasuki area kamar yang bercorak seperti zebra itu.
Tanpa berlama-lama Karel menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dengan posisi tengkurap sambil memejamkan matanya, menikmati kembali tidur siang yang terganggu akibat seseorang.
Sejujurnya ia hanya ingin bisa istirahat, sekolah merupakan formalitas saja baginya, kalau bukan karena Bu Ina dan Omahnya yang selalu berharap padanya, Karel sangat malas menyangkut tempat penuh peraturan itu.
Tok... tok... tok...
"Karel ayo makan dulu, di bawah udah ada Nak Gilang."
Sejujurnya matanya sangat berat untuk dibuka tapi dipaksakan mengingat perutnya yang sekarang belum terisi apapun. Karel segera mengganti seragamnya dengan baju kaos berwarna hitam dengan gambar bola di tengahnya lalu segera menuruni tangga.
Dia menghela napas tepat saat matanya melirik ke bawah terdapat sosok yang teramat menyebalkan menurutnya. Ia sebenarnya tak yakin cowok itulah yang membantunya menghubungi satpam sekolah agar segera membuka pintu perpus.
Gilang sahabat yang sekaligus sudah dianggap seperti saudara duduk di meja makan sambil menimati ayam goreng yang tersaji hangat di hadapannya.
"Ha bloo," sapa Gilang dengan mulut penuh berisi ayam goreng saat Karel menarik kursi di dekatnya.
"Lo nggak sopan banget ke rumah orang makan seenak jidat." Gilang hanya menatap karel dengan cengiran. Karel duduk di sebelah Gilang dan mengambil sepotong ayam goreng.
"Habisnya baunya enak, masakan ibu apa itu bahasa inggrisnya? Is the best." Gilang menacungkan kedua jempolnya ke arah Ina yang masih menggoreng ayam, "eh, btw, Omah ke mana kok nggak keliatan?"
"Lagi ngurusin cabang perusahaan di luar kota," jawab Karel.
Karel sendiri tak tau mengapa wanita itu masih kuat berpergian hanya untuk mengecek hal yang dianggapnya tak penting. Lagian putra-nya bisa menangani urusan itu.
"Hebat banget deh Omah, umur udah 60 tahun lebih tapi masih kuat," ucapnya tak menyangka. Dirinya saja yang masih muda saja sudah sangat malas kalau mengerjakan tugas. "Oh ya tadikan lo kejebak ama cewek di perpus, gimana ceritanya?"
Karel berhenti mengunyah, menatap Gilang sekilas lalu kembali menyantap kembali ayam gorengnya yang lebih menarik perhatian.
"Ish Rel, jawab dong, ceweknya cantik nggak?" Karel memutar bola matanya jengah. Pertanyaan yang sungguh tak bermanfaat dan menganggu.
Dari dapur, Ina yang baru selesai menggoreng ayam lagi. Meletakan ke meja makan, yang disambut dengan binaran Gilang.
"Dipikiran lo itu cewek mulu, terus Vina mau lo apain, ke laut?" tanya Karel sinis. Gilang mengedikan bahunya tak peduli.
"Gue 'kan nggak pacaran sama dia," elak Gilang. Memang itu kenyataannya, kalau ditolak kan sayang.
"Nggak pacaran, tapi suka bikin baper anak orang." Gilang berdecak, apa salahnya dengan perilakunya yang humoris dan perhatian. Kalau cewek-cewek baper apakah itu kesalahannya? Tidak 'kan?
"Iya deh, tapi, lebih baik gue dari pada lo, sampai sekarang nggak pernah pacaran," balas Gilang enteng.
Karel mengambil segelas air lalu meminumnya, sama sekali tak berniat menimbali perkataan Gilang. Tak penting, Karel tak pernah menganggap perempuan itu penting, mereka yang berisik, manja, dan banyak maunya.
Di dunia ini, mungkin perempuan yang tak bersikap seperti itu, cuman Ina dan omahnya saja, tenang dan tidak ribet!