Bengkulu, 12 Juli 2020.
...
Seperti biasa jika kuliah gue cepat selesai maka gue bersama mobil tercinta ini sudah siap di seberang gerbang yang bertuliskan “Universitas Raflesia”.
Mata gue melirik jam yang melingkar di tangan, sudah sepuluh menit gue di sini. Rasanya mulai jenuh menunggu karena orang yang gue tunggu enggak juga muncul dari gerbang.
Sekali lagi gue cek ponsel kalau-kalau orang yang gue tunggu itu memberi pesan tapi nyatanya nihil tak ada satu pesan pun masuk kecuali whatsapp dari grup angkatan.
Tadinya gue berniat turun, ingin menyusul ke dalam kampus tetapi terurungkan begitu menangkap sosok yang gue tunggu sudah menyebrang ke arah gue.
Tidak sampai semenit dia sudah masuk ke dalam mobil. “Sori. Lama, ya?” Kata-kata yang pertama sekali diucapkannya.
Karena gue bukan tipe cowok yang suka ngeluh dan ngomel-ngomel jadi gue hanya terkekeh sebagai tanggapan dari atas pertanyaannya.
“Gue kira masih ada kelas,” ujarku sambil melajukan mobil.
Dia duduk mantap dan menatap lurus ke depan. “Tadi ke ruang Dosen dulu ngantar makalah anak kelas,” jawabnya.
Ah, iya, dia yang dari tadi gue sebut-sebut namanya Rala Adisyah dan gue Geral Paranusrawa. Kami sama-sama kuliah di perguruan tinggi yang ada di kota Bengkulu. Namun, kami tidak satu universitas. Rala kuliah di Universitas Raflesia sedangkan gue di Universitas Kultural Bangsa. Gue dan Rala udah dekat dari lama, kebetulan kita satu SMA cuma ya, baru sekarang aja dapat keberanian buat nunjukin terang-terangan kalau gue suka sama dia.
Gue sebenarnya dari SMA cukup terkenal bahkan sampai kuliah karena aktif di berbagai organisasi tapi siapa sangka kalau cowok semacam gue ini takut banget sama yang namanya penolakan. Huh.
Bukannya apa, ya, cuma ya malu banget kalau baru mau PDKT aja udah ditolak mentah-mentah tapi untungnya Rala tidak begitu. Dia welcome dan tidak menampilkan tanda-tanda bahwa dia keberatan sama sekali.
Ya walaupun gitu kalian juga enggak perlu bertanya apakah gue sama dia udah jadian apa belum. Tentu jawabannya belum!
Meski sebenarnya gue pengin seperti kebanyakan orang yang mengemukakan status mereka atau mengklaim seorang perempuan sebagai miliknya, kali ini enggak gue lakukan. Bukan karena gue tipe laki-laki plin-plan atau tukang kasih harapan tanpa status. Bukan. Gue enggak sebanci itu, kok. Ini kesepakatan gue sama Rala. Semacam gue dan dia punya komitemen yang sama-sama kami jaga dan ini lebih dari cukup dari pada status. Yang penting gue tahu hati Rala buat gue dan hati gue pastinya buat Rala.
“Oh iya, Ger tadi Panji chat gue terus bilang katanya mau ngadain acara keakraban gitu buat alumni. Emang iya?” tanya Rala menatap gue yang tengah fokus menyetir.
Gue sering enggak fokus sebenarnya kalau Rala lihatin gini. “Enggak tahu. Dia belum kabarin aku.” Panji salah satu teman kami di SMA dulu memang belum memberi kabar apapun sama gue mengenai acara yang Rala katakan barusan.
“Oh. Katanya sih minggu ini nanti,” kata Rala lagi.