I Can Not

Nunik Fitaloka
Chapter #3

Chapter 2

Hari berikutnya berlalu begitu saja. Dalam lemabaran-lembaran ini gue sengaja ingin mengabadikan semua tentang gue dan Rala. Jadi buat lembaran hari gue yang enggak ada momen sama Rala lebih baik gue skip.

Kali ini gue dan Rala sedang dalam perjalanan menuju rumah Audrey temannya Rala dari zaman SMA. Rala bilang dia ingin mengembalikan barang Audrey lalu setelah dari sana rencananya gue akan mengajak Rala ke suatu tempat. Kebetulan ini sedang akhir pekan.

Tidak lama akhirnya sampai sudah di rumah Audrey tetapi gue enggak turun menemani Rala. Gue tetap menunggu di mobil dan tas dengan sengaja Rala tinggal. Entah memang sengaja ingin gue lihat atau bagaimana binder di dalam tas itu menampakkan diri. Maksudnya, sedikit keluar karena resleting tas terbuka sehabis Rala mengambil barang yang ingin dikembalikan ke Audrey.

Sebenarnya di sini rasa penasaran gue akan tulisan dalam binder itu kembali memuncak. Ini bukan pertama kali gue lihat binder itu karena Rala selalu membawanya ke manapun gadis itu pergi.

Kalau gue ambil begitu aja terkesan begitu tidak sopan. Seperti maling. Namun rasanya gue benar-benar ingin lihat. Apa Rala nyantumin nama gue di sana, ya?

Cepat-cepat gue hapus pikiran yang berkeliaran di kepala gue untuk coba melihat selembar saja binder itu. Gue yakin jika Rala tahu dia pasti tidak akan suka.

Berakhirlah dengan gue yang memainkan ponsel sembari menunggu Rala kembali ke mobil.

Berselang beberapa menit Rala sudah kembali. Begitu dia duduk dengan mantap gue langsung melajukan mobil. Di perjalanan hanya alunan musik diiringi lirik yang memecah keheningan antara gue dan Rala. Tidak seperti biasanya, Rala lebih banyak diam.

“Ral? Kenapa?” Gue mencoba bertanya.

Dia yang semula menatap lurus ke depan beralih menatap gue. “Enggak pa-pa. Kenapa emangnya?” Dia justru bertanya balik.

“Bohong banget. Dari tadi diam mulu, lagi ada masalah, ya?” Gue kembali bicara.

“Ish. Kalau gue diam berarti gue ada masalah? Enggak, gue fine, kok,” jawabnya.

“Kita pergi dulu, ya, enggak lama, kok.”

Dan Rala hanya mengangguk sebagai respons.

***

Beberapa menit kami habiskan dalam perjalanan akhirnya kami sampai di pelabuhan. Namanya Pulau Bai, banyak kapal besar nangkring di sini. Gue ajak Rala ke sini bukan ingin pergi ke pulau Enggano melainkan hanya ingin menikmati udara sejuk di antara hamparan laut ini.

Hari juga menunjukkan sekitar pukul setengah lima sore artinya matahari sudah mulai bersembunyi.

Banyak bebatuan di sini. Gue dan Rala duduk di pinggiran yang di semen dekat kapal yang belum berangkat. Kami sama-sama memandang laut.

Rambut Rala yang sedikit bergelombang sesekali bertebaran layaknya iklan shampoo diterpa angin.

“Kirain mau ke mana,” kata Rala sambil tersenyum.

Gue balas senyum dia nan manis itu. “Sekarang kalau kamu enggak mau cerita boleh, kok, teriak di sini sekenacang-kencangnya.”

Rala hanya menatap gue lama dan lekat. Entah sedang memikirkan apa lalu kemudian berdiri dan berteriak begitu kencang. Tidak hanya sekali dia lakukan itu berkali-kali.

Di sini juga banyak beberapa pedang sedang berlalu lalang menunggu nelayan untuk membeli ikan lalu kemudian membeli ikan tersebut dan menjualnya kembali. Ada satu dari mereka yang tertangkap mata gue tengah mengamati Rala yang teriak.

Puas berteriak Rala duduk lagi di samping gue. “Malu-maluin gak, sih?” tanyanya menahan tawa.

Aku menggeleng dengan cepat sambil terkekeh. Mungkin benar Rala sedang tidak baik-baik saja. Cuma, ya, namanya perempuan pasti kalau ditanya jawabannya seperti yang Rala bilang tadi. Dasar kaum perempuan!

Pas benget selesai gue bilang gitu gue dan Rala melirik ke sekitar dan ada dua orang Bapak-bapak tertawa sambil geleng-geleng lihat kita. Lalu kompak tawa gue serta Rala pecah.

“Wah lo emang parah banget. Gue udah cantik gini nanti orang kirain gue gila.” Protes Rala.

“Ih iya. Mbak kenapa Mbak teriak-teriak? Kurang kerjaan apa emang udah terganggu, Mbak?” Gue justru menanggapi perkataan Rala dengan nada ejekan lalu gue lihat Rala tertawa lagi.

“Astaga. Bisa-bisanya gue ikutin saran orang gila yang akhirnya nuduh gue gila ini.”

Dan sore itu gue berhasil buat Rala kembali tertawa. Gue jadi semakin ingin tahu apa isi jurnal Rala yang ditulisnya di binder itu.

***

Hari berikutnya gue hanya menghabiskan waktu bersama Rala lewat chat dan telepon. Jadwal kuliah yang diatur Dosen ini rupanya berdampak dengan waktu bertemu kami. Gue jadi ingin jadi Dosen biar nanti minta ganti jam kuliah jadi malam minggu. Mampus buat yang punya doi !

Ralaaaa

Hai cewek

Hai orgil

Masih aja ingat gila waktu itu:v

Wkwkwk

Lihat selengkapnya