Sekitar dua minggu gue sama Rala enggak ketemu akhirnya gue punya kesempatan buat ketemu dia. Terdengar alay sebenarnya tapi untuk orang yang tinggal satu kota seperti gue dan Rala, tidak bertemu dua minggu rasanya sudah cukup lama.
Kali ini gue lagi jemput Rala di kampus tercintanya seperti kemarin. Di seberang sana gue bisa lihat Rala tengah berbincang dengan seseorang yang memiliki jenis kelamin laki-laki. Enggak tahu bicara apa tapi tampaknya penting.
Begitu selesai bicara Rala dengan gesit menghampiri gue yang sedang duduk anteng di mobil.
“Gilaakkkkk sori ya Ger, lama lagi.” Rala mengatakan itu sambil nyengir kuda.
“Kaya kang Grep gue,” balas gue.
Rala otomatis dengan cepat mencibir. “Kang Grep mah dikasih uang. Lah lo? Berarti lebih bawah dari kang grep dong, ya?” Dengan enteng dia bilang begitu.
“Gue lebih mahal dari uang dibayarnya.” Gue enggak mau kalah dong.
“Mahal dari uang? Apa? Emas? Dih gue yang males kasih lo emas, Ger.”
“Lo bayar gue pakai cinta. Mahal gak tuh?” Gue menaik-naikkan alis mata gue.
Lalu Rala cuma mengamati gue dengan ekspresi seolah jijik sama perkataan gue barusan. Dan benar saja detik berikutnya dia malah berlagak seperti muntah.
“Muntah-muntah padahal kenyataan.” Ejek gue yang merasa gak terima.
Rala akhirnya tertawa. Dan gue langsung melajukan mobil.
Di perjalanan Rala menyetel lagu melalui ponselnya yang disambungkan melalui kabel data. Lagunya lagu Inggris gue enggak begitu paham lah, ya, artinya yang pasti musiknya tidak terdengar melow.
Dan apa lagi Rala ikut bernyanyi sesuai alunan musik sesekali mengangguk-anggukan kepala. Benar-benar berasa privat sama lagunya.
Setelah mikir sekian lama malam tadi, hari ini gue putuskan untuk nanya ini ke Rala.
“Ral?” Gue memulai dengan manggil dia.
“Hm?” Dia langsung menoleh.
“Gue pengin tanya, sih. Lo boleh jawab apa aja sesuka lo. Apapun jawaban lo enggak akan ngaruh ke apapun.”
“Gue deg-degan gilak. Lo mau ngomong tentang apa? Kaya mau ngomong hal yang serius banget deh.” Rala sedikit menyamping ke arah gue.
“Kan udah gue bilang enggak akan mempengaruhi apapun. Gak usah terlalu tegang keles,” jawab gue.
Dapat gue dengar Rala menarik napasnya dalam-dalam laku dikeluarkan. “Apa?” tanyanya.
“Gue beberapa kali, sih, lihat lo bawa binder ke mana-mana. Jujur gue penasaran isinya apaan. Maksud gue, iya gue tau isinya semacam jurnal kehidupan lo. Tapi ya persisnya tulisan di dalam sana yang buat gue penasaran.” Akhirnya gue bicara juga.
Rala mengangguk-angguk lalu menunggu gue untuk bicara lagi.
“Gue boleh baca, enggak, sih, kira-kira?” lanjut gue.