Bengkulu, Agustus 2018.
Rala Andisya
...
"Jurnal Pribadi Rala."
Tiga kata pertama yang kutuliskan di halaman pertama. Anggap saja sebagai judul.
Kata orang kita perlu memiliki catatan-catatan mengenai diri kita sendiri. Kalau istilahnya 'diary' atau bisa juga dibilang jurnal pribadi. Ada juga orang yang bilang kalau diary ini bisa kamu anggap sebagai teman curhat yang tahu segala hal mengenai dirimu setelah Tuhan
Awalnya aku tidak begitu peduli dengan kalimat-kalimat orang itu, tapi kali ini aku aku peduli. Aku ingin melakukannya. Menulis jurnal pribadi.
Jurnal ini tidak akan aku isi dengan kata-kata apa yang aku rasakan saja melainkan akan kucoba rangkai menjadi sebuah cerita. Cerita perjalanan hidup seorang Rala.
Aku akan memulainya dengan pengenalan hidupku lalu akan mengakhiri dengan kisah akhir hidupku. Begitu, 'kan, sebuah cerita? Ada awal dan pasti ada ending?
Ditemani segelas teh hangat beserta suara gemercik hujan di luar aku duduk di sini memulai menulis cerita hidupku. Malam yang biasa digunakan mereka untuk tidur kugunakan untuk menulis. Sebenarnya aku tidak suka menulis, tapi rasanya aku perlu melakukan ini agar jikalau pergi masih ada jejak yang kutinggalkan selain memori.
Aku Rala Andisya anak semata wayang dari pasangan Raman dan Radika Utami. Aku tidak tahu apa alasan aku diturunkan oleh Tuhan jika pada akhirnya kami dipisahkan.
Ayah dan ibuku meninggal dalam kecelakaan mobil sepuluh tahun silam. Tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali tersembunyi dalam ingatan ini.
Sejak itu aku tinggal bersama om dan tante yang merupakan adik dan adik ipar ibu. Namanya Om Bardi dan Tante Mala. Aku dibesarkan mereka hingga saat ini. Mereka punya anak yang bernama Ifa. Selisih umurku dan Ifa terpaut lima tahun. Saat ini dia duduk di bangku SMP kelas satu.
Sepuluh tahun tinggal bersama membuat aku memahami dengan baik karakter mereka. Namun, tidak akan aku bahas. Biar mengalir sepanjang tulisan jurnal ini.
Malam semakin larut, cuaca semakin dingin karena bertambah derasnya rintik hujan. Sesekali rasanya angin masuk melalui celah-celah ventilasi. Kuambil jaket untuk menghangatkan tubuh lalu kembali menulis.
Belum banyak kata yang kutuliskan akhirnya kuhentikan. Dingin ini rasanya menembus jaket bahkan lapisan-lapisan kulitku menuju tulang. Kutinggalkan binder yang masih setia di atas meja lalu naik ke tempat tidur berbaring dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuh dan tanpa sadar aku terlelap hingga pagi hari.
***
Suara dering alarm dari ponsel yang nyaring membuatku mengerjapkan mata berkali-kali hingga kesadaranku benar-benar seutuhnya.
Kugapai ponsel yang terletak di atas bantal lalu mengecek sudah pukul setengah lima subuh ternyata.
Bangun dari tempat tidur dan bergegas memulai rutinitas pagiku sebelum berangkat sekolah. Ah iya, omong-omong aku masih duduk di bangku SMA kelas tiga.
Rutinitas yang kubicarakan tak lain adalah kegiatan masak, mencuci baju, menyapu rumah dan halaman, mengepel, menyiram tanaman. Semua pekerjaan rumah itu kulakukan di pagi hari sebelum pergi sekolah.
Jika kamu berpikiran mengapa semua aku yang mengerjakan maka jawabanku cukup simple. Di rumah ini tidak ada asisten rumah tangga, Tante Mala mengajar sebagai guru SD dari pagi hingga sore, Om Bardi tidak mungkin melakukannya sedangkan Ifa tidak dibolehkan melakukan semuanya oleh Tante Mala.