I ( Everything In My Life )

Liepiscesha
Chapter #2

Lingkungan baru, apa akan menakutkan?

Kayla yang 8 tahun lalu masih duduk di kelas 3 SD kini sudah semakin besar, kini aku duduk di kelas 11 SMA. Pindah dari sekolah lama tak membuatku merasa sedih atau merasa akan merindukan lingkungan belajarku yang lama. Disana semuanya sama saja, mereka hanya bermain dengan teman yang sesuai dengan standar mereka. Jika menguntungkan maka hubungan pertemanan mereka akan terus berjalan, jika tidak mereka akan saling meninggalkan. Sepertinya aku masuk ke sekolah yang salah, bersyukur aku pergi dari tempat tersebut. Soal nilai, aku tak begitu buruk aku ada di posisi 100 dari lebih 500 siswa di sekolah lama. Angka yang sempurna bukan, 100.

Tante Dyana adalah adik Ayahku yang kedua, satu-satunya adik perempuan dari 4 bersaudara yang sisanya laki-laki. Kedua adik laki-laki ayah tinggal terpisah di dua negara yang berbeda, jauh di seberang benua sana.

Tante Dyana telah menjadi orang tua tunggal sejak kepergian suaminya 10 tahun lalu. Membuatnya harus membesarkan kedua putranya seorang diri, mengambil alih sebagai pemimpin perusahaan besar sekaligus seorang Ibu di rumah bukanlah hal yang mudah, namun tante Dyana tetap berdiri tegak dan menghadapi keduanya sekaligus. Membuatku yakin beliau adalah sosok wanita yang baik dan luar biasa.

Tante Dyana sengaja mendaftarkan ku di sekolah yang sama dengan kedua putranya, Kak Ray dan Kin.Kak Ray satu tahun lebih tua dariku dan Kin, memiliki kepribadian baik, sopan, cerdas juga disiplin membuatnya tampak menganggumkan. Jarang ada anak laki-laki yang bisa memegang prinsip seperti dirinya, tante Dyana selalu bisa mengandalkan kak Ray apapun yang terjadi.

Masalahnya adalah Kin, jauh berbeda dari sang kakak yang memiliki nilai sempurna sebagai seorang putra. Kin justru memiliki sifat yang jahil, susah diatur dan sulit ditebak. Sejak awal kedatanganku di rumahnya, ia sama sekali tak menyambutku dengan ramah.

Sebaliknya ia malah memintaku untuk membuangkan bekas permen karet miliknya pada pertemuan pertama kali. Lebih mengherankannya lagi ia akan bersikap manis di hadapan Ibunya. Tapi aku hanya membiarkan hal tersebut berlalu, lagipula aku tak akan mengadukan sikapnya pada tante Dyana, bagaimanapun dia tuan rumah dan akulah yang harus bersikap baik di wilayahnya.

Satu minggu telah berlalu, aku dengan cepat bisa beradaptasi dengan sekolah baruku. Namun rasanya cukup membosankan. Aku bahkan belum menemukan teman yang cocok denganku, semuanya sama, hanya sibuk dengan dunia nya sendiri. Mengingatkanku pada sekolah lama, membuatku bergidik ngeri.

Sepertinya anak-anak lain bersekolah dengan baik, memiliki banyak teman yang menyenangkan namun kenapa aku justru mendapatkan kehidupan sekolah yang mengerikan seperti ini. Apa lagi-lagi aku bersekolah di tempat yang salah. Tapi kenapa anak-anak lain bisa bertahan disini, atau mungkin memang akulah yang terlalu berlebihan. Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku sepanjang hari.

Pada jam istirahat kedua di sekolah, seperti biasa aku pergi ke kantin hanya untuk sekedar memuaskan dahaga. Tanpa sadar ternyata Kin berdiri tepat di sampingku.Namun aku ragu untuk menyapanya, aku hanya berdiri canggung di sampingnya.

Tanpa disengaja mata kami bertemu memaksaku untuk menyapanya.

"Hai Kin" sapaku canggung.

Ia bersikap seolah-olah tak mendengarku lalu membayar minuman yang ia ambil.

"Banyak amat uangnya mas" ucap Ibu kantin.

"Gapapa bu sekalian bayar punya dia" ucap Kin menunjuk ke arahku dengan datar. Aku menatapnya bingung, lalu hanya bisa menerima kebaikannya.

"Aku bisa bayar sendiri kok" ujarku sembari berlari kecil menyamai langkahnya.

"Anggap aja bayaran udah buangin permen karet gua kemarin" katanya dengan datar masih terus berjalan menuju salah satu meja yang dipenuhi teman-temannya

Langkahku terhenti menyadari kini semua teman laki-laki Kin menatap ke arahku. Aku melirik Kin yang tampak tak acuh dengan keberadaanku.

"Siapa nih kok kayaknya gua baru liat?" ujar seorang anak laki-laki dengan jaket berwarna hijau.mint.

"Kin siapa? kenalin dong" ujar teman lainya sembari menyikut lengan Kin pelan.

"Anak baru, kelas sebelah" jawab Kin sembari menatapku.

Aku tersenyum tipis menyapa 6 teman laki-laki Kin. Kin lalu menyuruhku untuk pergi tanpa sempat mengenalkanku sebagai sepupunya pada teman-temannya tersebut.

Sebelum kembali ke kelas, aku pergi ke toilet untuk merapihkan penampilanku. Hampir 5 menit aku berada di dalam toilet, tiba-tiba terdengar suara isak tangis dari dalam salah satu kabin toilet. Anak-anak perempuan lain sudah keluar dari toilet, bulu kuduk ku berdiri, aku terus mencoba memperjelas pendengaranku. Aku berjalan perlahan menuju sumber suara tersebut, dengan sedikit keberanian aku mengetuk pintu kabin toilet.

Lihat selengkapnya