Kejadian malam itu masih terbayang di pikiranku, saking mengejutkannya aku bahkan sampai tak menyadarkan diri, 2 hariku berlalu dengan cepat. Pantas saja, kini tubuhku terasa kaku dan sakit karena berbaring terlalu lama.
"Oiya! Nala dimana?" tanyaku yang sontak membuat tante Dyana yang saat itu berada di sebelahku terkejut.
"Ya ampun, Kayla. tante sampe kaget" ujar tante Dyana.
"Ma- maaf tante, aku baru inget soal temen aku, Nala" sesalku.
"Dari pertama kamu di bawa ke rumah sakit ini dia yang jaga kamu, bahkan dia ga pulang ke rumah, tapi tadi pagi tante suruh dia pulang dulu, nanti juga ke sini lagi katanya" jelas tante Dyana, sembari mengupas buah pir.
Pasti berat untuk Nala, sampai dia harus memutuskan untuk mengakhiri hidupnya seperti itu. Aku ingin cepat-cepat menemuinya.
Sorenya tante Dyana harus kembali ke kantor, karena itu akhirnya Kin lah yang menemaniku. Kebetulan kak Ray harus pergi ke Dojo untuk latihan karate. Asal kalian tahu, Kin itu sungguh menyebalkan, dia sangat dingin dan sikapnya aneh, sejak awal bertemu, aku telah memutuskan untuk tak sering berhubungan dengannya.
Mataku tertuju pada jendela besar di samping ranjang, langit di luar nampak begitu cerah.
"Kin" panggilku.
"Hm?" balasnya, dengan mata yang masih terpaku pada ponselnya.
"Panas" keluhku.
Kin segera mengambil remote pendingin ruangan, ia membuat ruangan menjadi lebih sejuk dari sebelumnya.
"Kin" panggilku lagi.
"Hah?" responnya.
"Aku mau keluar, cari angin" ujarku.
Kin berdiri dan membukakan pintu lalu kembali duduk di tempatnya semula.
Mungkin saja dia memang tak mengerti maksudku, dengan usaha yang besar aku mencoba bangun dari ranjangku. Aku tercengang begitu mendapati kakiku yang terasa lemas, aku bahkan tak bisa berdiri dengan benar.
Aku membeku untuk beberapa saat, kemudian Kin menatapku dan berkata...
"Ya udah, sana keluar " ujarnya.
Dengan berat hati aku keluar seorang diri dan pergi ke taman depan. Namun, sebelum itu dia membantuku duduk di kursi roda sebelum akhirnya berfokus lagi pada gamenya.
Sudah 1 bulan berlalu semenjak aku pindah dan memulai hidup baru di Jakarta, tempat tinggal baru, keluarga baru, sekolah baru, semuanya terasa berbeda bagiku. Bahkan di sekolah aku merasa begitu asing, tak satupun teman yang ku punya disana, tak ada yang menarik. Tapi Nala, apa yang terjadi padanya dan kenapa dihari ia menghilang tak satupun ada teman-teman yang memperdulikannya. Bahkan jika di ingat-ingat, pada waktu itu.
"Eh, tadi gue liat si Nala nangis di toilet " ungkap Shasa, salah seorang teman sekelasku.
"Haha, sukurin, sekali- kali lah dia harus menderita juga" ujar lainnya.
Aku yang saat itu mendengar percakapan mereka merasa heran dan terkejut, setega itukah mereka sampai- sampai ingin melihat temannya sendiri menderita. Sepertinya memang seperti inilah kehidupan sekarang, dengan mudahnya seseorang merisak seorang lainnya.
"Masa sih orang kayak Nala di risak" pikirku, saat itu.
Ditengah lamunanku Nala datang menghampiri, tanpa permisi ia duduk di sebelahku yang saat itu tengah duduk di kursi taman, aku menoleh ke arahnya.
" Nala?!" seruku, terkejut.
"Gimana keadaan lu?" tanyanya.
"Mendingan, kamu ?" tanyaku balik.