Seakan kebiasaan baru, setiap akhir pekan aku datang mengunjungi toko buku di dekat sekolah. Aku telah membaca banyak buku, terutama buku tentang tanaman. Beberapa kali, aku dan laki-laki itu berpapasan. Kami juga lebih sering bertegur sapa, layaknya seorang teman.
Aku duduk sembari membaca beberapa buku, tiba-tiba laki-laki tersebut datang lagi. Ia menyapaku, sebelum akhirnya kami duduk bersebelahan. Aku berusaha bernapas dengan pelan sebab suasana di ruangan ini cukup tenang.
"Kamu gapapa?" tanyanya.
"Kenapa?" jawabku.
"Kayaknya, kamu susah napas?" tanyanya.
"Ah, gak kok" sangkalku.
Dia pasti menyadari apa yang telah aku lakukan, sangat memalukan.
Padahal kami hanya duduk bersebelahan dan tak banyak berbincang, tapi aku merasa sangat bahagia. Ketenangan ini rasanya cukup menyegarkan untukku.
Aku semakin merasa jauh lebih baik setiap kali kami berbincang, hanya percakapan ringan namun rasanya benar-benar membuatku bahagia.
Di tengah percakapan tersebut, aku merasakan dering ponsel dari saku jaketku. Aku melewatkan panggilan dari Kak Ray, aku segera tersadar dan bergegas untuk pulang.
Saat kupikir aku dan laki-laki tersebut akan berpisah, ia kembali menghampiriku dengan sepeda motornya.
"Belum pulang juga?" tanyanya, begitu memarkirkan kendaraannya di pinggir.
"Kayaknya karena macet, jadi ojeknya gak sampe-sampe" ungkapku.
"Biasanya berapa, naik ojek dari sini ke rumah?" tanyanya.
"Hah? Oh, kenapa emangnya?" tanyaku balik.
"Ayo, biar aku yang anter" Ujarnya.
"Gapapa, gak usah" balasku.
"Boleh bayar lebih murah kok, di jamin aman juga" ujarnya, meyakinkanku.
Akupun menerima helm yang ia berikan padaku, di saat aku tengah memasang helm di kepalaku, laki-laki tersebut membukakan pijakan kaki sepeda motornya untukku. Lalu aku menaiki sepeda motornya, namun aku merasa sedikit canggung sebab aku tak tahu harus berpegangan di mana.
"Tenang aja, aku gak ngebut" Ucapnya.
Setelah mendengar ucapannya, aku tak lagi merasa cemas. Aku baik-baik saja meski tak berpegangan padanya. Setelah melewati angin malam yang dingin, akhirnya kami sampai di depan rumah.
"Makasih banyak" Ungkapku.
"Kamu tinggal di sini?" tanyanya, sembari memperhatikan rumah tante Dyana.
"Iya" jawabku, sembari melepas helm.
"Apa mereka udah pindah?" gumamnya.
"Apa?" tanyaku.
"Enggak" jawabnya, kemudian mengambil helm yang barusan aku kenakan.
"Kalo kita ketemu lagi, biar aku traktir minum" ucapku.
"Oke" balasnya.
"Kalo gitu, aku masuk dulu" ucapku.
Ia mengangguk pelan, lalu meneriakkan namanya sebelum aku melewati pagar rumah.
"Aku Kenzie" ungkapnya.
Senyumku mengembang, aku berbalik menyebutkan namaku padanya.
"Kayla" ucapku.
Ia melemparkan senyumannya padaku, sebelum akhirnya menancap gas motornya dan menjauh dari rumah.
Di dalam rumah, kak Ray sedikit memarahiku karena pulang cukup telat. Sejak kejadian di atap, kak Ray dan tante Dyana memang lebih menunjukkan kecemasannya terhadapku.
Aku segera meminta maaf pada kak Ray, aku tak menyangka jika ia benar-benar menungguku di rumah.
Di sekolah, entah mengapa aku tak bisa melepaskan perhatianku dari Nala. Mungkin karena aku masih merasa cemas, jika saja ia kembali melakukan hal yang buruk pada dirinya.