Aku duduk di samping Nala yang fokus menggambar di buku sketsanya, aku memperhatikan gerakan pensilnya. Nala begitu baik dalam menggambar, membuatku selalu takjub begitu melihat hasil karyanya.
"Wah!" seruku.
"Mau coba?" tanyaya.
"Aku gak bisa gambar" jawabku.
"Gapapa, gambar apa aja yang lo mau. gak perlu bagus" ujarnya.
"Yaudah" balasku.
Kemudian Nala memberikan salah satu buku sketsanya padaku, aku menggambar apapun yang muncul di pikiranku. Rasanya cukup menyenangkan, untuk sesaat aku bisa melupakan apa yang menjadi kekhawatiranku.
"Bagus, terus lanjutin" ungkapnya.
Sorenya, aku dan Nala mengunjungi sebuah kafe di dekat sekolah untuk sekedar membeli minuman sebelum pulang.
"Gue ke toilet dulu ya" ucapnya.
"Oke" balasku.
Begitu Nala memasuki toilet, dari belakang muncul beberapa anak perempuan dari sekolah kami. Perasaanku mulai gelisah, aku mengikuti kelimanya masuk ke dalam toilet.
"Nala! masih bisa punya temen ternyata? apa karena anak baru itu gak tau ya gimana sikap lo?" ujar Shasa, teman sekelas kami.
"Dia sepupunya Kin kan? jangan-jangan lo sengaja deketin dia biar bisa balik lagi sama Kin gitu? gausah ngarep Nala!" sahut Naomi.
"Heh! lo belum lupa kan sama apa yang udah lo lakuin ke Ghea?" ujar Shaha.
"Bener! gara-gara lo Ghea meninggal, gara-gara lo juga kita gak bisa dapetin apapun yang kita mau lagi dari dia! emangnya lo mau gantiin dia beliin kita barang-barang mewah?" tanya lainnya.
"Mana bisa? dia kan gak punya orang tua, mana punya uang!" ujar Shasa.
"Lo ngomong apa Sha, neneknya kan kaya. Bikin aja dia minta uang ke neneknya!" ujar Naomi.
"Berhenti!" ucapku.
Aku tak tahan lagi mendengar ucapan mereka pada Nala, melihat Nala hanya diam ketika mereka semua memojokkannya membuat hatiku amat sakit.
"Kayla..." gumam Nala cemas.
Aku menarik lengan Nala dari kepungan anak-anak perempuan tersebut.
Shasa dan anak lainnya menatapku dengan sinis, mereka menyeringai seakan merendahkanku.
"Sayang lo sepupunya Kin sama Ray, kalo bukan lo pasti udah mati di sini" cibirnya.
"Kenapa? kenapa kalo aku bukan sepupu mereka? kalian pikir kalian lebih hebat dari yang kalian pikir?" ujarku.
"Haha, berani juga ternyata" ucap Naomi.
Aku segera menarik Nala keluar dari toilet, kami mengambil minum kami dan bergegas meninggalkan kafe.
Selama perjalanan pulang, Nala tak mengatakan apapun. Akupun tak memulai percakapan dengannya, ku pikir pasti masih terasa canggung baginya karena kejadian barusan.
Begitu keluar dari kereta, aku menarik tangan Nala, membuatnya menatap ke arahku.
"Kenapa?" tanyaku, cemas.
"Harusnya lo gak usah ngelakuin hal kayak tadi" ucapnya, sembari tertunduk.
"Angkat kepala kamu, kamu gak ngelakuin hal yang salah" ujarku.
"Gue malu, gue cuma bisa diem di hadapan mereka tapi lo ngebela gue gitu aja" ucapnya.