Sekeras apapun aku berusaha untuk tak menyesali keputusanku, pada akhirnya aku tetap menangis di bawah selimut. Menyesali apa yang telah aku lakukan, aku bahkan tak bisa menjaga perasaanku sendiri, aku membiarkan orang lain melukai diriku, aku membiarkan diriku sendiri melukai perasaanku.
Begitu rumit, begitu menyesakkan.
Di hadapan orang lain aku tak ingin menunjukkan perasaanku, aku berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Meski begitu, aku masih merasa mereka memperlakukanku jauh lebih baik dari biasanya seolah tahu bahwa aku hanya memakai topeng tersenyum.
Aku pergi ke pinggir lapangan, meneduh di bawah pohon rindang sembari menyandarkan tubuhku pada dinding pohon yang besar. Sembari konsisten menghela napas panjang, aku sendiri tak mengerti mengapa hanya karena Kenzie aku merasa sesulit ini. Seandainya saja aku bisa melupakan perasaanku padanya, mungkin hidupku akan jauh lebih tenang.
Sinar matahari yang sedari tadi menyinariku tiba-tiba terhalang tubuh seseorang, begitu aku menatap ke atas, di sana Kin sudah berdiri dengan wajah datarnya. Aku berdiri menyambutnya, lalu Kin mendorong tubuhku pelan ke samping dan merebut tempatku duduk sebelumnya.
"Cih" desisku, sebal.
Aku duduk di sampingnya, masih mengenakan earbuds di kedua telingaku. Kin lalu melepas salah satu earbuds di telingaku, dan mengenakannya.
"Ini masalah lu, dengerin lagu sedih mulu. Gimana bisa bahagia kalau gini" cibirnya, lalu mengembalikan earbuds tersebut padaku.
"Kamu gak main basket?" tanyaku, begitu melihat anak-anak lain bermain bola basket di lapangan.
"Gua gak suka olahraga" jawabnya.
"Loh? bukannya semester lalu kamu menangin pertandingan basket?" tanyaku, mengingat kejadian di semester lalu, ketika kelas Kin memenangkan pertandingan basket antar kelas.
"Demi kesejahteraan kelas, gua harus nunjukkin kemampuan gua" pamernya, dengan wajah riang.
"Oh..." gumamku pelan.
"Lu... harus jauhin semua anak cowok, terutama orang itu, siapa tuh Ken, Ken. Shit, namanya sama kayak gua. Pokoknya lu harus jauhin orang itu, kalau ketemu sekalipun, lu harus hindarin dia kalau perlu lari buat ngejauhin dia! ngerti?!" cecarnya.
"Iya... tapi kamu pikir kamu siapa ngatur-ngatur aku kayak gitu?" balasku, tak terima.
"Oh, gua? gua Kin, sepupu lu, keluarga lu. Lupa?" semburnya, sembari terus memajukan wajahnya padaku.
Tubuhku membeku sembari menghindari matanya, aku mengatupkan bibirku merasa bersalah karena balasan Kin.
"Napas" perintahnya, begitu menjauhi tubuhnya dariku.
Aku menghembuskan napasku, aku tanpa sadar telah menahan napasku begitu Kin mendekatkan wajahnya padaku.
Aku kembali ke kelas dan memberikan sekaleng minuman untuk Nala, ia menerimanya dengan senang hati. Aku duduk di sampingnya, Nala terus menatapku dengan cemas.
"Aku gapapa" ucapku, membuka pembicaraan.
"Ah...maaf. Gue gak maksud ngeliatin lo kayak tadi. Tapi, kay. Tadi pagi... gak jadi deh" ucapnya, nampak ragu-ragu.
"Kenapa?" tanyaku, mendesaknya.