" Membiarkan seseorang pergi, bukan berarti karena aku tak lagi mencintainya "
***
Begitu hariku bertambah berat, aku merasa seolah kehilangan seluruh kepercayaan diriku. Aku merasa begitu kecil, dengan seluruh perasaan kecewa yang ku pendam seorang diri. Rasanya aku ingin melarikan diri, sejauh mungkin sehingga tak ada lagi yang bisa melihat keberadaanku.
Bukan hanya karena aku takut orang lain melukaiku, namun aku takut orang-orang di sekitarku, juga merasakan imbas dari apa yang menjadi masalahku.
Aku merasa bersalah, melihat bagaimana Kin membuat tante Dyana merasa kecewa padanya. Salahku, aku tak bisa menceritakan apa yang tengah terjadi pada tante Dyana, semuanya melindungiku namun aku tak bisa melindungi siapapun. Aku terus merasa bersalah pada Kin, yang selalu membantuku di saat-saat sulit seperti saat ini.
Keesokan harinya, anak-anak di sekolah masih membicarakan tentang masalahku dan Kenzie. Mereka masih mencibir diriku, menudingku seolah mereka tahu apa yang benar-benar terjadi.
Bahkan media sosial tiba-tiba menjadi begitu ramai membicarakan tentang hubungan Kenzie dan Yenna, seketika mereka menjadi lebih terkenal dari sebelumnya. Begitu banyak orang yang menyukai keduanya, berharap mereka benar-benar akan bersama.
Aku tak tahu harus bersikap dan bertindak bagaimana dalam menanggapi hal tersebut. Hanya saja hatiku begitu sakit, berada di posisiku saat ini sangatlah menyakitkan. Begitu banyak ketakutan dan kecemasan, aku baru saja melangkah maju namun dunia seakan memintaku untuk segera mundur dan menjauh.
Aku enggan menjawab panggilan dari Kenzie, aku tak ingin mengatakan apapun padanya, aku tak ingin mendengar apapun darinya. Hariku terasa begitu buruk karena kejadian ini, tak ada yang benar-benar ingin aku lakukan saat ini, aku merasa begitu bersalah atas segala hal yang terjadi sampai hari ini, aku sedikit membenci diriku karena tak bisa melakukan apapun dengan baik, sebaliknya aku hanya bisa mengacaukan sesuatu.
Pekan hariku, terasa begitu menyesakkan, seorang diri di kamar tidur hanya menyiksaku, aku tak bisa mengalihkan perhatianku dari ketikan orang-orang yang membicarakan dan mendukung hubungan Kenzie dan Yenna.
Kemudian kak Ray mengetuk pintu kamarku, membawaku ke tempat latihannya. Sepertinya kak Ray sadar bahwa aku sedang tak baik-baik saja, aku berterima kasih padanya karena tak meninggalkanku seorang diri di rumah.
Bahkan Kin pun mengikuti kami sampai ke tempat latihan. Kin sudah tak asing lagi dengan Dojo ini, sebab ia sudah beberapa kali mengantarkan keperluan kak Ray ke tempat ini.
Aku takjub melihat betapa orang-orang di tempat ini berlatih dengan sungguh-sungguh, mereka semua tampak luar biasa dan menganggumkan di mataku.
"Eh, ayo!" tegur Kin, menyadarkan diriku yang masih terpaku melihat anak-anak lain berlatih dengan giat.
Mereka semua bukanlah murid biasa, banyak di antaranya yang sudah pernah mengikuti kejuaran karate pada tingkatan yang tinggi.
Di tengah jalan kami berpapasan dengan seorang perempuan, ia memanggil nama kak Ray dengan pelan.
"Ray, bisa ngomong bentar?" panggil perempuan tersebut.
"Sebentar ya" ucap kak Ray sembari menepuk pundakku pelan, lalu menjauh dengan perempuan tersebut.
Kin membawaku ke sebuah ruangan tempat dimana kak Ray biasa berlatih bersama teman-temannya. Aku menyilangkan kedua kakiku sembari menunggu kak Ray kembali.
"Menurut lu mereka pasti ada sesuatu kan?" ceplos Kin membicarakan perempuan yang baru saja kami temui do lorong.
"Kenapa? kamu kenal sama dia?" tanyaku balik.
"Namanya Jennie, dia satu SMP sama kak Ray tapi dia gak pernah ngaku soal hubungan dia sama cewek itu. Ah, dasar anak gengsian itu" cibir Kin.
"Aku ke toilet dulu deh" ucapku, lalu bangkit dari tempatku.