" Semua orang bisa berubah, meski tak akan sepenuhnya berubah "
***
Aku berjalan menyusuri sekolah seorang diri, berusaha memberikan waktu untuk Nala dan Kin belajar di perpustakaan. Aku merasa bersalah kepada keduanya, karena selalu berada di antara mereka, kini aku sadar diri dan mencoba membiarkan mereka berdua menikmati waktu mereka untuk menjadi lebih dekat lagi. Aku harap keduanya bisa memiliki banyak waktu untuk saling berbicara.
Tanpa sengaja aku melihat Naomi, berjalan seorang diri menaiki anak tangga menuju lantai paling atas. Entah mengapa perasaanku kurang baik, sehingga diam-diam aku mengikutinya naik ke atap, mataku tertuju pada pintu menuju atap yang terbuka. Seharusnya tempat itu sudah di tutup dan tak lagi di perbolehkan untuk digunakan oleh siapapun.
"Astaga, Naomi!" jeritku sembari berlari mendekati ujung pembatas, betapa terkejutnya aku melihat Naomi yang sudah berdiri di tepi gedung.
" Naomi!" panggilku, berusaha mengehentikannya.
"Ngapain lo disini?" tanyanya, dengan airmata yang sudah membasahi pipinya.
"Jangan Naomi, ini gak bener!" ujarku.
"Dariawal semua yang gue lakuin emang selalu salah, gak ada benernya sama sekali, jadi buat apa gue hidup?" lontarnya dengan penuh emosi.
"Gak, kamu harus tetep hidup, semua kesalahan itu bisa diperbaiki Naomi" ungkapku.
"Gue yakin hidup lo baik-baik aja kan? Makanya lo bisa ngomong kayak gitu, enak ya jadi lo, ada Kin sama kak Rey yang selalu ngebela dan jagain lo, lo punya semuanya Kayla, sedangkan gua gak" bebernya dengan jeritan.
"Gak, Naomi" tangkasku dengan nada rendah. Aku tak ingin Naomi berpikir seperti itu.
"Gue malu, gue malu karena udah jadi orang jahat, apalagi Kin udah tau semua itu, waktu gue sama Shasa dan yang lain nyakitin lo sama Nala, Kin dateng dan liat semuanya. Dia marah dan belain lo berdua, mau di taro di mana muka gue, orang yang dari dulu gue suka justru malah benci sama gue. Bahkan sekarang Kin jadian sama Nala, segitu bencinya Kin sama gue sampe dia jadiin Nala pacarnya demi ngelindungin kalian. Lo gatau rasanya sesakit apa Kayla, gue hancur, gua bener-bener hancur sekarang" ungkap Naomi, dengan suara yang mulai bergetar.
"Gak gitu, Naomi. Kin, ga benci kamu, dia pasti mau maafin kamu" ucapku, mencoba meyakinkan Naomi.
"Udah terlambat, gue udah ada di atas sini buat apa gue mohon-mohon maaf sama dia" ucapnya.
"Aku minta maaf, Naomi. Aku bakal bantu kamu buat perbaikin semuanya, aku janji, sekarang kamu turun. Please, Naomi" negosiasiku.
"Maaf! Maaf!, kenapa lo yang minta maaf? gue yang selama ini jahat! Segampang itu lo ngomong, lo dengan hidup lo yang baik-baik aja tau apa tentang penderitaan gua?" geramnya, Naomi tak berhenti berteriak dengan seluruh air mata yang sudah membasahi wajahnya.
"Baik-baik aja kamu bilang? Dengan semua rumor itu, kamu pikir aku baik-baik aja? Aku punya semuanya? Aku bahkan gak bisa lagi ketemu orang tua aku, aku selalu jadi beban buat orang lain, apa kamu kira aku baik-baik aja? Aku juga capek Naomi!" ucapku, emosiku meledak. Aku tersedak begitu menyadari perkataanku pada Naomi.
"Ohh, kalo gitu kenapa kita gak mati bareng aja?" tanya Naomi dengan senyum menyeringai.
"Kalo memang loncat dari sini ga lebih sakit dari semua penderitaan aku, kalo emang mati itu bisa nyelesaiin semuanya, kalo emang aku masih bisa masuk surga karena mati bunuh diri, kalo aja semuanya semudah itu, dari dulu aku pasti udah mati" ungkapku.
Naomi hanya bisa terdiam, dia mulai merenungkan apa yang baru saja kuucapkan. Tak tahu datang dari mana tiba-tiba Nala menarik lengan Naomi ke bawah dan kini keduanya terbaring di lantai.
" Aw" rintih Naomi kesakitan.
"Bodoh" maki Nala, yang kini telah terbaring di lantai dengan seluruh tubuhnya yang merasakan nyeri.
Kini kami bertiga berada di UKS sekolah, Naomi sedari tadi hanya berbaring sembari menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.