" Aku bertanya-tanya, apakah prosesnya memang sesulit ini saat aku mendambakan kebahagiaan "
***
Jika saja ada satu kekuatan yang bisa aku miliki, maka akan sangat menyenangkan bila aku memiliki kuasa atas rasa lelahku. Aku tak ingin merasakan lelah, sehingga aku akan bisa melakukan apapun selama yang aku inginkan.
Setelah kejadian di kelas, Naomi menghindariku begitu saja. Dia bahkan tak datang ke sekolah, meski terlihat acuh aku bisa melihat bahwa Shasa menyesali perbuatannya pada Naomi kemarin. Aku melihat bagaimana Shasa menatap sedih ke meja Naomi yang kosong, penyesalan itu terlihat dari sorot matanya.
Ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku, namun aku tak bisa menjelaskannya dengan lebih rinci, hanya saja aku merasa beraslah atas apa yang terjadi saat ini. Sepertinya aku selalu seperti itu, aku selalu merasa bersalah atas semua yang terjadi di sekitarku.
"Lo gapapa?" tanya Nala, mencemaskan keadaanku.
Aku tersenyum menutupi kesedihanku, entah bagaimana aku tak merasa baik-baik saja. Aku tak peduli jika Naomi memang mendekatiku karena Yenna, tapi setelah ini apa yang harus aku lakukan di hadapan Naomi.
"Kalo lo cemas soal kemarin, mending lo jangan ambil kesimpulan dulu. Belum tentu Naomi sama Yenna memang ngerencanain sesuatu buat lo. Kita denger dari Naomi dulu, lo gausah khawatir" Ungkap Nala, ucapannya selalu bisa menangkan pikiran dan hatiku. Aku selalu berterima kasih karena Nala selalu bersikap dewasa dalam menangani diriku.
Aku duduk di pinggir lapangan, dengan tiupan angin sejuk menyapu wajahku. Aku menggenggam ponselku, melihat pesan manis terkahir yang Kenzie kirimkan padaku. Aku belum membalasnya, pikiranku masih terlalu kacau. Setelah kupikir, setelah mengenal Kenzie aku tak merasa begitu bahagia, karena semua yang ada di sekitarku tiba-tiba saja ikut mendapatkan imbas buruknya.
Meski aku begitu bahagia ketika hanya bersama Kenzie, tapi melihat orang-orang di sekitarku kesulitan. Aku kembali memikirkan keputusanku ini. Rasanya begitu menyesakkan karena seolah, kami memang tak bisa bersama.
"Ekhm" deham Joe, berdiri di hadapanku.
Aku menoleh ke wajahnya, masih terasa canggung karena hubungan kami yang tak begitu baik sejak hari itu. Joe duduk di sebelahku, dengan jarak yang cukup renggang ia mulai berbasa-basi mencoba mendekatiku lagi.
"Gua denger kemarin lu barantem sama temen sekelas lu?" tanyanya.
Mendengar Joe menanyakan hal tersebut, sepertinya kabar tersebut sudah menyebar di antara anak sekolahku. Padahal baru kemarin video pertengkaran kami tersebar, aku cemas kali ini semua orang akan benar-benar salah menggapku.
"Naomi gak pernah deket sama Yenna, meraka bahkan ga pernah ngobrol. Gua ngomong kayak gini, karena gua tau semua jadwal Yenna. Semua kegiatan dia di atur sama nyokap gua. jadi lo gak usah khawatir Naomi ngekhianatin lu" ungkap Joe, memberikan petunjuk penting untukku.
"Kenapa kamu ngasih tau ini ke aku? harusnya kamu belain kakak kamu kan" ungkapku.