" Memulai lebih mudah daripada harus melanjutkan kekacauan "
***
Pada saat itu juga aku tersadar bahwa aku telah melanggar peraturan yang telah kubuat dengan susah payah. Dinding yang belum selesai kubangun, runtuh dengan mudahnya ketika dirinya hadir di hadapanku. Untuk sesaat aku kembali luluh, sehingga tanpa sadar membiarkannya kembali memasuki ruangan tersebut.
Kini Kenzie duduk di sofa ruang tamu, aku menjamunya dengan secangkir teh hangat. Kami duduk berhadapan, dengan suasana yang terasa cukup dingin dan canggung. Kami saling menghindari kontak mata, entah mengapa aku malah memintanya untuk masuk ke dalam rumah.
Kenzie kemudian meminum teh di hadapannya, aku menatapnya dengan seksama. Tak lama dari itu Kenzie mengernyitkan matanya, lalu segera meletakkan cangkirnya di atas meja. Aku menyembunyikan wajahku, menahan tawa kecilku. Aku sengaja menambahkan banyak perasan jeruk nipis ke dalam tehnya, dengan alasan aku hanya ingin menjahilinya karena dia datang begitu saja ketika aku sedang bersusah payah melupakannya.
"Kok kamu bisa sampe ke sini?" tanyaku.
"Uhm ..., sebenernya beberapa hari lalu aku gak sengaja liat kamu di toko bunga. Aku gak bermaksud ngikuti kamu," ucapnya, terhenti di akhir kalimat.
Jadi sudah cukup lama dia melihatku, lalu mengapa hari ini dia datang kemari. Haruskah aku menanyakan alasannya, tapi apa yang akan dia katakan nanti. Bukankah dia dan Yenna akan segera melakukan pertunangan, apa mungkin Kenzie datang untuk benar-benar menyampaikan hal tersebut padaku. Haruskah aku memintanya keluar dari rumah ini, aku tak ingin mendengar apapun yang akan menyakitiku lagi.
"Jadi, kenapa kamu dateng, maksud aku ... bukannya kita udah selesaiin urusan kita waktu itu? aku pikir, gak ada lagi yang harus kita bahas?" ucapku, sembari mendengus.
"Aku salah, waktu itu aku gak tau kalo dampak yang kamu terima jauh lebih buruk dari yang aku kira. Kenapa kamu gak kasih tau aku?" ungkapnya.
"Gimana bisa, aku gak tau apa aja yang udah kamu hadapin, gimana bisa aku bagi beban aku ke kamu" sahutku.
"Kenapa, kenapa kita nyimpen beban kita masing-masing? kenapa kita gak bisa saling berbagi, semuanya bakal lebih mudah kalo kita saling ngerti satu sama lain. Kenapa aku baru sadar itu sekarang" ujarnya.
Kenzie terlihat begitu marah pada dirinya sendiri, padahal apa yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahannya. Aku sendiri selalu berpikir bahwa aku harus menyelesaikan masalahku seorang diri, aku tak pernah berpikir bahwa tindakanku justru malah melukai perasaannya.
"Gapapa, semuanya udah baik-baik aja sekarang. Kamu gak usah ngerasa bersalah, aku juga gak mau ngerasa bersalah. Jadi, kita lupain aja semua yang udah berlalu" ucapku.
"Kamu bener-bener gapapa?" tanyanya.
Aku tersentak begitu mendengar pertanyaannya, aku mungkin belum sepenuhnya merasa lebih baik namun aku yakin suatu saat aku akan baik-baik saja ketika mengingat hal kemarin. Karena harapan itu aku bisa bertahan sampai saat ini, aku tak bisa mengatakan padanya bahwa aku masih terluka.
"Aku gak baik-baik aja" ucapnya lagi.
Aku menatapnya dalam hening, menahan air mataku sehingga aku tak bisa mengatakan apapun padanya, aku tahu aku harus tetap diam jika tak ingin menangis di hadapannya.
"Walaupun artikelnya udah di take down semua, tapi maaf aku gak bisa bikin semua orang lupa soal masalah itu" sesalnya.