" Rasanya begitu melelahkan,aku selalu membenci diriku atas setiap kesalahan yang terjadi, bagaimana caranya aku bisa berdamai dengan diriku? "
***
Esoknya di kelas, aku tertunduk sembari menuliskan beberapa kalimat di sebuah halaman kosong di bukukku. Bertuliskan, "Kamu gapapa? aku percaya, kamu gak ngelakuin apa yang mereka bilang. Naomi kasih tau semuanya, jadi jangan jauhin siapapun lagi. Makasih kamu udah berusaha jadi lebih baik :)".
Aku berbalik dan menaruh buku tersebut di meja Shasa. Ku harap Shasa akan merasa lebih baik, aku tak lagi bisa menahan diri, melihatnya pergi seorang diri ketika waktu istirahat, melihatnya melewatkan jam makan siang dan menyendiri di perpustakaan membuat hatiku sedih.
Keputusanku untuk mempercayai Shasa memang tak salah, karena hari ini Joe mendatangiku dan mengatakan semua yang sebenarnya terjadi. Jadi, di malam setelah aku menemui Naomi, aku segera menghampiri Joe dan meminta bantuannya. Aku meminta Joe untuk menyelidiki kebenaran dari rumor yang beredar di sekolah, lalu hari ini Joe menyampaikan padaku bahwa Shasa dan Yenna tak saling mengenal.
Justru aku malah mendengar hal yang tak bisa kupercayai.
"Tiffany, ketua kelas lu. Dia yang di temuin Yenna" ungkap Joe.
"Gimana bisa mereka saling kenal?" tanyaku, tak habis pikir.
"Gak tau, gua cuma denger soal itu dari supirnya" jawab Joe.
Aku, Nala dan Naomi pergi ke pinggir lapangan, kami duduk di bawah pohon besar yang rindang. Aku menyandarkan kepalaku di pundak Nala, juga Naomi berbaring di kaki Nala yang ia luruskan ke depan.
Aku mengehala napas gusar sembari memejamkan kedua mataku. Aku merasa cukup lelah, aku ingin semuanya segera berakhir, aku ingin lepas dari permasalahku dengan Yenna. Memikirkan Yenna, membuatku teringat pada masalah yang tengah Kenzie alami. Dia benar-benar pergi dari keluarganya, dan kini Yenna terus menggangguku, sebenarnya sebesar apa perasaan sukanya pada Kenzie sampai ia bertindak sejauh ini untuk melukaiku.
Tiap kali memikirkan hal tersebut, aku kembali merasa bersalah. Yenna membuatku merasa seolah aku telah merebut Ken dari dirinya, seolah aku benar-benar menghancurkan kehidupannya. Bukankah Ken sudah dengan terang-terangan mengatakan pada mereka semua bahwa dirinya tak memiliki perasaan apapun pada Yenna.
Kemudian ponselku berdering, aku melewatkan panggilan dari Yenna. Aku tersentak, apalagi kali ini, mengapa ia menghubungiku lagi. Sepulang sekolah, masih dengan seragamku aku menghampiri Yenna di sebuah kafe yang jaraknya cukup jauh dari sekolah.
Kini kami kembali duduk berhadapan, entah mengapa keadaannya begitu canggung, hening dan sedikit panas.
"Temen kamu... saya gak yakin kalian temenan apa gak, tapi tolong kasih ini ke dia" ucapnya, sembari mendorong sebuah amplop ke arahku.
"Ini apa?" tanyaku, bingung.
"Kasih aja, terus bilang jangan hubungin saya lagi" pesannya.
"Tunggu, tapi maksud kamu siapa?" tanyaku.