" Seharusnya hari itu aku menahan diriku, harusnya aku tak bertindak mengikuti amarahku "
***
Siang ini aku tak sengaja mendengar percakapan Tiffany dan Yenna, Tiffany dengan frustasi terus mencoba menghubungi perempuan tersebut. Aku tak bermaksud untuk mencuri dengar peracakapan keduanya, namun tanpa dirinya sadari aku telah berada di dalam bilik toilet ini sejak sebelum ia masuk ke toilet. Aku menahan diriku untuk tetap berada di dalam sini, menunggu hingga akhirnya Tiffany pergi.
"Kak, kenapa kakak gak angkat telpon aku?" tanyanya.
"Aku tau kakak sibuk, tapi gimana sama urusan kita. Aku udah kasih tau semuanya tentang Kayla, jadi kakak harus tepatin janji kakak buat bikin aku masuk ke universitas A" desaknya.
Tak lama dari itu, telpon mereka terputus. Lalu Tiffany mengumpat dengan kata-kata kasar, ia terdengar begitu marah dan frustasi. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, aku sangat kecewa dan sedih. aku masih tak bisa mempercayai apa yang terjadi. Padahal dia selalu menempel padaku, tak kusangka dirinya hanya mempermainkan pertemanan kami.
Tak lama dari itu, Tiara masuk dan bertengkar dengan Tiffany. Sepertinya keduanya memang bekerja sama untuk melakukan ini padaku.
"Tif, terus gimana sama gue? lo bilang gue juga bisa masuk universitas itu!" keluh Tiara.
"Berisik! kalo ada yang denger gimana?!" tegur Tiffany, ia berusaha membungkam teman sekomplotannya tersebut.
"Harusnya lo lebih becus dong! kalo udah ginikan malah kita yang rugi! sialan... malah gue udah nuduh Shasa kayak gitu" ucap Tiara, ia terdengar menyesali perbuatannya.
"Jangan sok merasa bersalah, lo yang nyebarin rumor palsunya. Lo juga yang khianatin dia, gue gak pernah minta lo buat ngelakuin itu" ucap Tiffany, dengan getir.
"Lo... bener-bener busuk ya, sebenernya lo yang bikin gue ngelakuin ini ke Shasa. Karna masalah ini ada, lo jadi punya kesempatan buat deketin Kayla" ungkap Tiara.
"Tutup aja mulut lo! jangan sampe ada yang tau, semuanya udah kejadian mau gimana lagi?!"
"Terus gimana? kita dapet apa?"
"Cewe sialan itu, keliatannya aja berkelas tapi sekarang dia malah kabur" umpat Tiffany.
"Apa kita sebarin aja soal ini di media sosial? biar dia malu" saran Tiara.
"Lo bodoh, ya? yang ada kita juga ketauan!"
Aku tak tahan lagi, aku tak bisa menahan amarahku tapi aku tetap harus bertahan di dalam sini. Sebab aku terlalu takut untuk keluar, bodoh memang. Harusnya aku bisa keluar dengan berani, menunjukkan diriku pada keduanya, merekalah yang bersalah padaku, tapi mengapa justru aku yang merasa takut dan cemas.
Aku pergi ke UKS untuk mengambil obat pencernaan, aku merasa begitu mual dan tubuhku gemetar juga lemas.
Aku duduk di pinggir ranjang sembari menundukkan kepalaku, tanpa kusadari air mataku mulai berderai, setetes demi setetes jatuh di atas punggung tanganku yang mengepal.
Aku hanya merasa begitu lelah dan kecewa, hatiku terasa begitu berat. Aku menangis dengan tenang, tanpa suara, namun isaknya masih bisa kurasakan dalam hatiku.
"Kayla?" panggil Joe.
Aku sedikit mendongakkan kepalaku menatap ke arahnya. Joe sudah berdiri di hadapanku dengan raut wajah cemasnya. Joe kemudian menarik kursi dan duduk di hadapanku.
"Kenapa?" tanyanya dengan suara yang lembut.
"Gapapa" jawabku dengan suara berbisik, menahan tangis.
"Kenapa? jangan nangis" ucapnya dengan suara gemetar.