"Semua orang membuat kesalahan, tapi tidak banyak yang bersedia mengakui kesalahan mereka, atau menghadapinya"
***
Aku belajar di perpustakaan sekolah, seorang diri. Aku menatap sedih pada kursi hampa di hadapanku, sebelumnya kursi tersebut adalah tempat Nala. Karena kami sudah begitu dekat, kini jauh darinya adalah hal paling menyakitkan untukku.
Hubunganku dengan Naomi dan Shasa juga menjadi canggung, karena ucapan orang tua mereka yang telah melukai perasaan tante Dyana, nenek Maryam, Nala dan aku. Keduanya telah meminta maaf atas kejadian tersebut, aku juga telah memaafkan hal tersebut. Namun kondisinya masih belum nyaman, bagi kami untuk kembali bersama-sama lagi.
Sendirian seperti ini, semakin membuatku merasa sedih dan kesepian. Aku pergi ke toilet, meninggalkan buku dan peralatan tulisku di atas meja. Aku membasuh wajahku beberapa kali, mencoba menenangkan hati dan pikiran kalut.
Aku menatap pantulan diriku pada cermin, sorot mataku tampak sedih. "Sejak kapan tatapanku jadi seperti ini?" batinku, mempertanyakan keadaanku.
Aku menghela napas gusar lalu menepuk-nepuk pelan wajahku dengan tisu, sebelum akhirnya kembali ke mejaku.
5 langkah dari meja, aku melihat sebotol susu stroberi tertinggal di atas mejaku. Tapi aku tak menemukan siapapun di sana. Aku mulai meraih botol tersebut, lalu menatap ke sekelilingku mencari seseorang yang meletakan minuman ini di atas mejaku.
Acuh tak acuh, aku meletakan minuman tersebut di samping, lalu kembali mengisi soal di bukuku. Lama berada di perpusatakaan, akhirnya aku keluar. Di balik pintu, Kin sudah menantiku, ia berjalan mengantarku sampai ke depan kelas.
"Gua putus" ucapnya, setelah lama berpikir.
Aku menghentikan langkahku, lalu membeku untuk sesaat. Rasanya seperti di hujani es batu, begitu dingin, sehingga membuatku mati rasa.
"Apa?" tanyaku kemudian, memastikan.
"Gua putus sama Nala" ucapnya lagi, menekankan ucapannya dengan ekspresi yang tenang.
"Kenapa? karena aku?" tanyaku, dengan panik, namun dengan suara rendah.
Kin menggeleng pelan, dengan sorot matanya yang lembut menatapku.
"Neneknya sakit, katanya dia gak punya waktu buat hal remeh, apalagi buat berhubungan sama gua. Kita putus karena alasan itu, gua gak nanya hal lain, dia minta putus, gua langsung iyain" jelasnya dengan tenang, Kin menyelipkan kedua ujung tangannya ke dalam saku celana, berusaha terlihat santai, namun di mataku ia terlihat menahan luka.
Aku tak berkata-kata lagi, aku merasa bersalah dan menyesal. Aku marah pada diriku sendiri, tapi aku menahannya.