"Hidupmu Adalah Milikmu Sendiri. Kendalikan Hidupmu Sendiri"
***
Aku kembali ke kamarku, membeku sembari menatapi layar ponselku. Lagi, artikel buruk yang memuat tentang diriku, dengan cepat video tadi siang di sekolah menyebar begitu saja. Semua komentar buruk terlontar untukku, dengan mudah mereka memaki dan menghakimi diriku.
Ungkapan itu terus di tujukan kearahku, tanpa tahu kebenaran yang ada mereka menghakimi dan menyerangku dengan mudahnya. Aku benci dunia ini, kenapa mereka menjadikanku orang yang jahat.
Malam memang terasa begitu panjang, tapi akupun tak lagi menanti hari esok. Aku terlalu takut untuk menghadapi semuanya, aku takut pada dunia luar, aku takut tak lagi ada yang mempercayaiku.
Matahari mulai masuk dari celah jendela kamarku, menandakan hari sudah kembali dimulai.
Aku menarik selimutku, menutupi seluruh tubuh dan kepala. Tak perduli beberapa kali ketukkan pintu, aku hanya ingin diam berbaring di tempat tidur.
Semuanya masih menjadi mimpi burukku, meski masalah tersebut telah berlalu, namun kenangan buruk tersebut masih terus mengikutiku bahkan di dalam tidurku.
Begitu aku sadar semuanya hanya mimpi, aku mengehela napas lega. Aku telah berhasil melewati hari-hari mengerikan tersebut. Namun kemudian aku kembali tersadar, masalah baru telah hadir, lalu aku hanya harus menghadapinya seperti kemarin-kemarin.
Aku melirik kearah jam, waktu menunjukkan pukul 06.30 pagi. Aku bangun dari tempat tidurku dan bergegas untuk pergi mandi. Hari ini aku sedikit melambat, untuk waktu yang cukup lama aku duduk di samping tempat tidur sembari menatap kearah luar jendela, hari semakin terang dan cerah, namun apakah hariku juga akan sama cerahnya seperti langit yang kupandang saat ini.
Aku tiba di depan sekolah. Tempat ini, tiba-tiba menjadi sangat menakutkan. Pada akhirnya sekolah menjadi tempat yang ingin aku hindari, semua yang ada di tempat ini sangat menakutkan dan membuatku ingin pergi sejauh mungkin.
Tak ada tempat untukku di kantin ataupun di kelas, aku terlalu takut untuk sendirian dengan tatapan yang akan membuatku merasa tak nyaman.
Aku berjalan di koridor sekolah ketika berpapasan dengan Nala. Kami saling melewati satu sama lain, namun langkahku terhenti, aku memanggil namanya dengan nada rendah. Hal tersebut berhasil menarik perhatian Nala, ia berbalik ke arahku.
"Jangan kayak gini, ayo kita ngomong" desakku.
Tanpa ku sangka, Nala dengan mudah menyetujui. keinginanku. Kami pergi ke bawah pohon yang biasa kami datangi.
Nala berdiri di hadapanku, tanpa senyuman itu lagi. Dia sedikit terasa asing dan dingin.
"Maaf" ucapku dengan gugup.
Dia mengehela napas dan menyeringai.
"Selalu kata maaf yang keluar dari mulut lo" gumamnya dengan pelan.
"Nenek Maryam, gimana keadaanya?" tanyaku.
Kedua matanya membelalak, nampak tersentak mendengar pertanyaanku.
"Gara-gara aku, nenek kamu jadi sakit. Harusnya aku gak nyeret kamu ke dalam masalahku sama Tiffany, maaf karena nenek Maryam jadi tau soal masalah ini" sesalku.
Nala menundukkan kepalanya sambil berpikir keras setelah mendengar ucapanku. Keheningan yang lama membekukkanku sampai ke tulang.
"Sebenernya, gue merasa bersalah sama lo..." ucapnya dengan ketidak percayaan diri.
Semburat kesedihan muncul di wajahnya. Tiba-tiba saja keadaan terasa begitu sedih. Aku menatapnya dengan cemas, Nala begitu diam sampai aku merasa bersalah padanya.
"Kenapa?" tanyaku dengansuara pelan.
"Karena lo berteman sama gue, kehidupan sekolah lo jadi berantakan. Orang-orang benci dan nyakitin lo, semuanya karena gue yang pecundang. Karena gue yang selalu jadi sasaran empuk buat perisak kayak mereka, lo jadi harus menderita kayak gini. Lo jadi harus denger kata-kata itu dari orang lain... Gua tau harusnya dari awal gua gak nerima uluran tangan lo" ungkapnya dengan penuh emosi.