"Jika aku akan menyesalinya, maka aku tak akan memulainya"
***
Laki-laki ini berada tepat di hadapanku. Namun aku masih tak berani mengatakan apapun, entah itu mengenai ibu Mauren, maupun hal lainnya.
"Makasih, fraisier cakenya" ucapnya.
Aku segera menyadarkan diriku, dan langsung menanggapi ucapan Ken.
"Sama-sama, cuma kue... aku bisa bikinin semua makanan yang kamu mau" balasku dengan percaya diri.
"Woah... confident!" serunya.
"Kamu suka? Stroberi..."
"Suka, waktu kecil ibuku..." ucapnya, lalu kemudian terhenti, raut wajahnya mendadak berubah, nampak serius.
"Kenapa? ibu kamu?" tanyaku, memancing.
Entah ada keberuntungan apa, tanpa harus memulainya. Kenzie sudah terlebih dahulu membahas hal tersebut, aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan berharga ini. Aku terus memancingnya, untuk melanjutnya ucapannya tentang ibu.
"Gimana ujiannya? udah selesai? kamu mau masuk universitas mana?" tanyanya,mengalihkan pembicaraan kami.
Sayang sekali, padahal barusan adalah awal yang bagus untuk melanjutkan percakapan kami tentang ibu Mauren.
"Belum, masih 3 bulan lagi" jawabku, dengan perasaan kecewa.
"Lain kali ayo main lagi, jalan-jalan kayak waktu itu di pinggir pantai, masih banyak makanan yang mau aku coba" ujarnya dengan antusias.
"Kamu gak pernah main sama temen-temen sekolah kamu?" tanyaku.
"Gak pernah, sekalipun gak pernah. Aku gak punya temen di sekolah" jawabnya, senyumnya terasa pahit.
Aku merasa terluka, melihatnya tersenyum seperti itu meski tahu ia menahan penderitaan yang amat mengerikan. Namun, aku juga tak bisa melakukan apapun. Masa lalunya, semuanya masih tersimpan jelas di memorinya, aku tak bisa melakukan apapun dengan hal itu. Aku tak bisa menghapusnya, ataupun kembali ke masa lalunya.
"Karena kamu harus jalanin semua jadwal yang udah di atur keluarga kamu?" tanyaku.
Kenzie mengangguk dengan ragu, mengingat masa lalunya.
"Kenapa kamu gak pernah kabur? atau bolos"
"Aku udah ngelakuin itu sekarang... aku pergi dari rumah itu" jawabnya dengan bangga.